Mengerjakan tugas sambil menunggu kedatangan guru yang telat adalah bencana yang sangat menyiksa.
“Ren... apakah kau tahu jawaban dari soal nomor satu?”
“Kau bahkan belum mulai mengerjakan satu soalpun, tapi
kau malah bertanya padaku! Kau harusnya berpikir sendiri!”
“Lalu kenapa kau menyontek pada gadis yang duduk di
sebelahmu itu!?”
“Dia mau memberikan jawabannya padaku, jadi sangat
disayangkan jika Aku menolaknya!”
“Itu jelas sangat curang, dasar Iblis sialan!”
Bran dengan kesusahan sedang mencoba mencari contekan
dari teman sekelasnya yang lain, sedangkan Ren dengan santainya hanya melihat
pada jawaban yang telah diisi oleh Putri pada buku soalnya. Ren melakukan itu
bukan karena dia tidak tahu jawaban dari soal di bukunya, tapi karena dia malas
berpikir. Kalau dia masih bisa mencontek, kenapa juga dia harus memikirkan
sendiri jawabannya. Itulah motto yang dipegang oleh Ren selama ini. (Anak baik
seharusnya tidak boleh mencontoh semua sifat Ren).
“Hei... apakah ada yang tahu siapa yang menemukan
benua amerika?”
“Yang jelas, itu bukan Aku!”
“Aku tidak bertanya padamu, Bran!”
“Kurasa Grace tahu jawabannya!”
“Kalau kau ingin meminta jawaban dariku, maka Aku akan meminta darah darimu!”
Semua orang yang mendengar perkataan dari Grace
langsung memegangi leher mereka. Mereka tidak akan pernah mendekati Grace lagi
seumur hidup mereka. Itulah yang mereka pikirkan saat mereka menatap Grace.
“Hei! Aku bukan vampir, maksudku dengan meminta darah
kalian adalah Aku akan langsung membunuh kalian, jika kalian berani mencontek
padaku!”
“““BUKANKAH ITU JAUH LEBIH MENGERIKAN DARI SEKEDAR
MENGHISAP DARAH!”””
Sebetulnya ada apa dengan kelas ini!? Kenapa setiap
orang yang masuk ke kelas ini bisa mengatakan sesuatu seperti membunuh dengan
mudahnya!? Ren benar-benar tidak habis pikir dengan kelas yang dia masuki.
Sebetulnya siapa yang membuat kelas ini menjadi mengerikan seperti ini. (Dia
tidak sadar kalau dirinyalah yang membuat kelas ini menjadi separah ini).
“Lalu bagaimana dengan soal ini... 10 + 10 – 10 = 0...
berapa banyakkah angka 100 dalam soal itu?... apa ada yang tahu jawaban dari
soal itu?”
“Bukankah jawabannya sudah jelas adalah 0, karena
tidak ada angka 100 di soal itu!”
“Tidak juga... perhartikan bagian akhir, yaitu 10 =
0... kalau kita menghilangkan tanda = di soal itu, maka kita bisa mendapatkan
angka 100!”
“Kau benar... jadi jawabannya adalah 1... benar, kan?”
“Benar... oh, iya... sebenarnya itu soal nomor berapa?
Aku tidak melihat soal itu di buku soalku?”
“Itu soal nomor 10 dalam buku ini... permainan
teka-teki untuk anak kurang kerjaan!”
“““BUKANKAH KAU SEHARUSNYA MENGERJAKAN SOAL DI BUKU
SOALMU, BUKANNYA MALAH BERMIAN TEKA-TEKI TIDAK JELAS‼!””””
Semua teman sekelasnya tidak mengerti dengan isi
kepala si bocah mesum itu. Dia memang tidak sedang membaca majalah dewasa, tapi
dia sekarang malah membaca buku teka-teki yang tidak jelas dan bukannya buku
soal yang diberikan si Gorila itu. Apakah dia tidak takut dengan si Gorila itu?
Bahkan Ren masih ingat saat Gorila itu berhasil mengalahkan semua siswa di
kelas F, padahal dia telah dikepung dari berbagai sudut oleh mereka semua.
Ren kemudian kembali fokus pada soal yang telah diisi
oleh Putri. Dia tahu apa resiko yang akan dia dapatkan, jika dia terus
menyontek pada si Gadis Siluman itu, tapi dia bisa memikirkan cara untuk lolos
dari cangkramannya nanti, yang terpenting saat ini baginya adalah menyelesaikan
semua soal yang ada di buku yang sangat tebal ini dan selamat dari amukan si
Gorila yang sangat jelek dan menyebalkan itu.
“Hei, Ren... bagaimana jika kita membuat peraturan di
sini?”
“Apa itu?”
“Bagaimana jika kau mencontek satu soal, maka Aku
boleh mendengarkan satu hal memalukan darimu!”
“Begitukah, Aku mengerti.... Liliana, apakah Aku bisa
mencontek jawabanmu?!”
Karena dia tidak dapat mencontek Putri, maka dia hanya
perlu mencontek pada orang lain. Ren sebetulnya masih ingat dengan kejadian
beberapa saat yang lalu dimana Liliana pingsan karena melihat wajahnya, tapi
sekarang dia tidak peduli akan hal itu, karena dia hanya perlu menutupi
wajahnya dengan topeng yang dibawanya, maka dengan begitu Liliana tidak perlu
melihat wajahnya dan juga tidak perlu pingsan lagi. (Pokoknya siapapun yang
ingin menjadi anak baik, memang tidak boleh meniru satupun sifat Ren).
Liliana yang baru beberapa saat lalu kembali ke kelas
F, tentu saja langsung terkejut dengan kedatangan Ren. Jantungnya langsung
berdetak dengan sangat cepat, saat dirinya melihat tubuh Ren. Dia tidak sanggup
melihat wajah Ren, karena dia terlalu malu untuk menatap matanya, jadi dia saat
ini masih belum menyadari kalau Ren sedang memakai sebuah topeng di wajahnya.
“R-Ren... k-kenapa kau datang ke sini?”
“Aku datang untuk mencontek!”
Terlalu jujur. Ren terlalu jujur dengan tujuannya. Dia
dengan terang-terangan mengatakan kalau dia akan mencontek jawaban orang lain.
Bahkan teman sekelasnya yang lain juga sangat terkejut dengan kejujurannya.
Kenapa bisa seorang Iblis berkata jujur? Itulah yang mereka pikirkan saat
mereka menatap Ren yang sedang berjalan menuju tempat Liliana duduk.
Lalu saat mereka menatap Ren, mereka akhirnya
menyadari topeng macam apa yang sedang dipakai oleh Ren untuk menutupi wajahnya
yang sangat menyeramkan.
“Ada Iblis memakai topeng Iblis!”
“Ini benar-benar kejadian langka!”
“Apakah sekarang seorang Iblis bisa menyamar menjadi Iblis!?”
“KENAPA KALIAN SEMUA SELALU SAJA MEMANGGILKU IBLIS!?”
Karena Ren berteriak dengan sangat kencang, hal itu
membuat Liliana mendongakan kepalanya secara refleks dan menatap wajah Ren yang
saat ini tertutupi oleh topeng Iblis. Dalam beberapa saat kemudian, Liliana
kembali pingsan karena melihat topeng yang sangat menyeramkan itu. (Meskipun
topeng itu tak seseram wajah asli Ren, tapi Liliana tetap saja pingsan.
Sepertinya Liliana adalah orang yang mudah pingsan).
“““DASAR IBLIS BODOH‼”””
“KENAPA KALIAN SEMUA MENYALAHKAN DIRIKU LAGI!?”
Teman-teman sekelas mereka langsung berhamburan menuju
tempat Liliana pingsan. Mereka mencoba sekeras mungkin untuk membuat gadis
albino itu kembali membuka matanya, karena kalau tidak, tidak akan ada orang
yang memberikan contekan pada mereka. Mereka tidak bisa mengandalkan Grace (karena
palu raksasanya selalu siap menghajar siapapun yang mencoba mendekatinya) dan
juga Flan (yang akan selalu siap memberikan ceramah tentang hemat energi, jika
ada yang ingin menyontek darinya). Jadi satu-satunya orang bisa diharapkan
untuk memberikan contekan pada mereka adalah gadis albino yang sedang pingsan
itu.
“Ren, kau harus bertanggung jawab!... gara-garamu
satu-satunya orang yang bisa memberikan contekan pada kami sudah menghilang!”
“Jangan berkata seperti dia sudah meninggal, Dasar
Bocah Anjing yang tidak tahu sopan santun!”
“Lagi pula kenapa kau malah memakai topeng Iblis!? Bukankah
wajahmu saja sudah mirip dengan Iblis, jadi kau tidak memerlukan topeng itu
lagi, jika kau memang ingin terlihat seperti Iblis!”
“Aku sama sekali tidak ingin terlihat seperti Iblis!
Aku memakai topeng ini, karena topeng ini masih lebih tidak menyeramkan dari
pada wajah asliku!”
“Be-begitukah... maaf... tapi Aku tidak menyangka
kalau kau mau mengakui kalau kau memiliki wajah yang menyeramkan.”
Sebetulnya Ren juga tidak ingin mengakuinya, tapi mau
bagaimana lagi. Dirinya memang harus merendahkan harga dirinya yang memang
sudah rendah sejak awal, agar dirinya bisa mendapatkan contekan dengan mudah.
(Sepertinya Ren memang bisa melakukan apapun untuk mendapatkan contekan).
“Lalu mengapa kau malah memakai topeng Iblis dan
bukannya topeng badut... kurasa jika kau memakai topeng badut, kau akan tampak
sangat lucu?”
“Kau seharusnya tidak perlu menanyakan itu lagi,
Soni... karena topeng apapun yang dipakai Ren pasti akan membuat dirinya menyeramkan!”
“Apa maksudmu dari perkataanmu itu, Alien Sialan!”
“Jangan panggil Aku dengan Alien Sialan, Iblis
Sialan!”
Mereka berdua kembali memulai pertengkaran mereka yang
biasanya. Sedangkan teman sekelasnya yang lain sedang mencoba membangunkan
sumber informasi mereka yang berharga. Mereka harus segera membangunkannya,
sebelum waktu habis dan Pak Gorila datang melihat keadaan mereka.
“BISAKAH KALIAN HENTIKAN SEMUA INI! KALAU KALIAN INGIN
MENGERJAKAN SOAL, MAKA KERJAKAN DENGAN BENAR‼!”
Karena tidak tahan dengan kelakukan teman sekelasnya,
Grace meraung tidak senang pada semua teman sekelasnya yang sedang berkerumun
di dekat meja Liliana. Raungannya bahkan sampai membangunkan kembali Liliana
yang tadi pingsan, tapi bukan hanya itu yang terjadi, ternyata raungannya tadi
juga bisa membangunkan kembali seorang nenek tua yang sedang tertidur di ruang
kepala sekolah.
Nenek itu kemudian segera mengecek keadaan di dalam
kelas F. Kalau ada seseorang yang berteriak sekencang itu, maka sumbernya pasti
dari kelas F. Hal itu sudah tertanam di dalam benak setiap orang yang
bersekolah ataupun berkerja di sekolah yang dia pimpin.
“Mereka sepertinya sedang melakukan sesuatu yang
menarik, sayang sekali Aku tertidur tadi, jadi Aku tidak sempat menyaksikan hal
itu dari awal!”
Si nenek tua mendesah kecewa, karena dia tidak sempat
menyaksikan kejadian seru yang terjadi di kelas Ren dan kawan-kawannya berada
dari awal. Kenapa juga dia harus tertidur di saat-saat adegan yang paling
serus. Lalu tiba-tiba saja si nenek tua mendapatkan ide yang menurutnya sangat
bagus. Dia kemudian mendekati sebuah mikropon yang ada di atas meja kerjanya,
lalu menyetel sistem siaran khusus miliknya agar hanya speker yang berada di
kelas F yang bisa mengeluarkan suaranya.
[Pada semua siswa di kelas F... harap kalian
mengulangi semua hal yang kalian lakukan, sebelum Aku tertidur... Aku ulangi,
pada setiap siswa di kelas F, Aku ingin kalian melakukan apapun yang kalian
lakukan tadi, meskipun kalian harus mengorbankan nyawa kalian!]
“““APA-APAAN DENGAN PENGUMUMAN BARUSAN?!!”””
Ren dan kawan-kawan meraung marah dari dalam kelas
mereka. Kenapa mereka harus mengulangi hal yang sangat menyiksakan bagi mereka?
Belum lagi, Nenek Tua tadi mengatakan kalau dirinya tertidur. Apakah itu memang
yang harus dilakukan oleh seorang petinggi di sekolah ini.
[Ada sedikit tambahan... bagi yang tak mau mengulangi
kejadian yang kalian lakukan, maka kalian akan mendapatkan hadiah dariku,
yaitu... bagi yang lelaki akan langsung mendapatkan ciuman manis dariku,
sedangkan untuk yang perempuan, maka kalian akan melihat secara langsung
bagaimana Pak Hari latihan setiap harinya dan juga rekaman ceramah dari Pak
Luigi secara gratis!]
Si nenek tua itu sangat yakin kalau dengan begini
mereka akan menuruti permintaannya dengan senang hati.
Kembali ke Ren dan kawan-kawan. Mereka semua sedang
membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka, jika mereka tidak menuruti permintaan
dari si Nenek Tua sialan itu. Para lelaki sedang membayangkan diri mereka
sedang dicium oleh si Nenek Tua, mereka semua langsung merasa ingin muntah saat
mereka membayangkan hal tersebut. Sedangkan para gadis sedang membayangkan diri
mereka sedang menonton siaran langsung latihan pagi Pak Hari sambil
mendengarkan ceramah tak berguna dari Pak Luigi, mata dan telinga mereka semua
sudah terasa sangat sakit, meskipun mereka hanya membayangkan adegan tersebut
di dalam dunia khayalan mereka. Mereka semua langsung memikirkan satu hal.
Mereka tidak ingin hal itu terjadi pada diri mereka.
Mereka sebetulnya juga tidak ingin mengulangi lagi
penderitaan yang telah mereka lewati. Makanya mereka harus memikirkan cara
untuk terlepas dari hadiah yang akan diberikan oleh si Nenek Tua itu, lalu
mereka melihat ke arah Ren. Meskipun Ren bukan ketua kelas mereka, tapi dialah
orang yang selalu memimpin mereka dengan ide-ide liciknya. Dia saat ini pasti
sedang memikirkan cara untuk membuat mereka terbebas dari hadiah yang akan
diberikan oleh Nenek Tua itu, jika mereka menolak permintaannya.
“Baiklah, para anak buahku yang terkutuk... Aku ingin
kalian semua ikut denganku untuk menghancurkan kantor kepala sekolah... jika
kita berhasil membunuh si Nenek Tua itu, maka kita tidak akan mengalami
penderitaan lagi!”
“““Yaaaaa‼!”””
Semua teman sekelas Ren bersorak dengan semangat.
“TUNGGU DULU KALIAN SEMUA‼ BUKANKAH SEHARUSNYA KALIAN
SEMUA MENGIKUTI PERINTAHKU DAN BUKANYA MALAH MENGINCAR NYAWAKU‼!”
Suara teriakan yang menyedihkan terdengar dari kantor
kepala sekolah. Kenapa rencana untuk mengancam mereka malah berakhir dengan
nyawanya yang menjadi taruhan? Dia tidak pernah sekalipun memikirkan tentang
skenario semacam ini seumur hidupnya. Apa yang harus dia lakukan untuk
menyelamatkan hidupnya yang telah lebih tipis dari benang?
[Kalau kalian berani datang ke sini, maka Aku akan
menyuruh Pak Maman untuk berdiri di depan pintu kepala sekolah sambil
bertelanjang dada!]
Si nenek tua yang sedang berada di kantor kepala
sekolah dengan cepat mengatakan hal tersebut di mikropon yang berada di
dekatnya. Dia berharap kalau hal itu bisa menghentikan niat Ren dan kawan-kawan
untuk membunuhnya.
“SEMUANYA! KITA BATALKAN MISI KITA!”
“BAIK‼”
Suara teriakan Ren terdengar dari kelas F. Si nenek
tua itu langsung menghela nafas lega, begitu dia mendengar teriakan tersebut.
Hampir saja nyawanya melayang, karena hal sepele. Lain kali dia harus lebih
memikirkan lagi apa yang sebaiknya dia katakan, jika dia sedang berhadapan
dengan Ren dan anak buahnya yang terkutuk itu. Mereka semua sama sekali tidak
bisa diremehkan.
Sementara di tempat lain, Pak Maman yang telah selesai
menuntaskan kewajibannya (membuang isi perutnya yang telah dicerna ke dalam
toilet) langsung mengdesah kesal. Kenapa mereka semua sangat berisik?
Sepertinya dia harus memberikan pelajaran tambahan pada mereka semua.
Setelah memikirkan bagaimana caranya membuat mereka
semua menyesali perbuatan mereka, Pak Maman segera berjalan dengan langkah yang
membuat lantai bergetar ke arah kelas F berada.
Kembali ke tempat Ren dan kawan-kawannya berada.
Setelah membatalkan niat mereka untuk menyerbu ke kantor kepala sekolah, karena
ancaman dari si Nenek Tua, Ren dan kawan-kawannya kembali duduk dengan tenang
di kursi mereka masing-masing. Mereka terlihat sedang fokus dalam mengerjakan
soal di buku soal mereka masing-masing. Kenapa mereka sekarang terlihat seperti
murid yang rajin? Itu karena perintah dari Ren yang menyuruh mereka melakukan
hal tersebut, supaya mereka bisa lolos dari bencana yang sebentar lagi akan
mereka hadapi.
“HEI, KALIAN SEMUA! SEPERTINYA KALIAN MELAKUKAN HAL
YANG SANGAT MENYENANGKAN TADI!”
Pak Maman masuk ke dalam kelas F sambil meraung. Dia
kemudian melihat ke arah ruang kelas yang sangat tenang. Sebetulnya ada apa
ini? Kenapa mereka terlihat seperti murid normal? Pak Maman dibuat kebingungan
dengan pemandangan di depannya. Pemandangan di depannya sungguh tidak dapat
dipercaya olehnya.
“Apa yang sedang kau bicarakan Pak Gorila?”
“Asal kau tahu saja, Pak Gorila... sejak tadi kami
terus mengerjakan tugas yang kau berikan!”
“Benar sekali.... kami saat ini sedang sangat fokus
mengerjakan tugas kami, jadi kami harap Pak Gorila mau pergi dari sini dan
tidak menganggu konsentrasi kami!”
“BISAKAH KALIAN BERHENTI MEMANGGILKU PAK GORILA!?”
Pak Maman menatap curiga pada semua anak muridnya.
Mereka saat ini pasti sedang merencanakan sesuatu, makanya mereka bisa bersikap
layaknya murid pada umumnya. Sepertinya tidak ada gunanya menebak isi kepala
dari para anak muridnya, lebih baik dia mulai saja rencananya.
“Ya, ampun... Aku tidak menyangka kalau kalian akan
serajin ini. Padahal kalau kalian tidak suka dengan tugas yang kuberikan, Aku
bisa membakar buku tugas kalian, sehingga kalian tidak perlu lagi mengerjakan
tugas yang tadi kuberikan pada kalian!”
“““Heee! Benarkah itu?!”””
Mereka benar-benar terlihat sangat senang. Mereka
terlalu jujur dengan perasaan mereka. Pak Maman jadi merasa dilema sendiri. Dia
akan terlihat seperti guru yang sangat kejam, jika dia menghukum bocah-bocah
yang sangat jujur itu dengan hukuman yang paling jahat. Tapi dia juga tahu
kalau bocah-bocah itu hanya jujur pada keinginan mereka sendiri saja, atau dengan
kata lain selama mereka diuntungkan, mereka akan selalu jujur dengan diri
mereka. Jadi dia tidak perlu kasihan dengan mereka. (Lalu untuk apa kau merasa
dilema tadi ‘-_-)
“Ya, Aku akan membakar semua buku itu... bersamaan
dengan diri kalian!”
“““Heeee! Apa kau ingin membunuh kami, Pak Gorila
bodoh!”””
Pak Maman sangat kesal dengan mereka yang memanggilnya
Gorila dan bodoh, tapi dia harus menahan perasaannya. Dia harus tetap tersenyum
ramah pada mereka dan berpura-pura menjadi guru yang baik (Tapi karena senyumannya
itu terlihat sangat menjijikan bagi Ren dan kawan-kawan, jadi hanya dengan melihat
senyumnya saja sudah sama dengan hukuman bagi Ren dan kawan-kawan).
“Ayolah, padahal Aku sudah menyiapkan bensin untuk
membakar kalian semua... tidak, maksudku untuk membakar buku kalian semua!”
“Kau tadi sudah berkata kalau kau akan membakar kami
semua! Jadi kau benar-benar berniat membakar kami semua bersama buku-buku
sialan ini!”
“Apakah kau memang sudah berniat membakar kami sejak
awal!?”
“Belum lagi kau menggunakan bensin untuk membakar
kami. Fire! Kau harusnya menggunakan minyak tanah untuk membakar benda. Fire!”
“Bukan itu masalahnya di sini!”
“Hee! Bukan itu?”
“Tentu saja bukan itu, dasar Bocah Api! Baik dia menggunakan
bensin ataupun minyak tanah, kita semua tetap saja akan dibakar olehnya!”
“Tapi Pak Hari pernah mengatakan kalau bensin terbakar
lebih cepat dari minyak tanah, karena memiliki titik didih yang lebih kecil
dari minyak tanah. Karena itulah kau harus menggunakan minyak tanah untuk
membakar sesuatu, karena minyak tanah akan membakar apapun lebih lama dari
bensin. Jadi gunakanlah minyak tanah. Fire!”
“Sebetulnya apa yang diajarkan oleh Ayahmu pada
dirimu?”
Kenapa sekarang Raya terdengar seperti penjual minyak
tanah? Semua teman sekelasnya sama sekali tidak mengerti dengan isi kepala anak
itu. Sebetulnya apa yang diajarkan kedua orang tuanya pada dirinya, hingga bisa
membuat anak seperti dirinya.
“Sepertinya salah satu dari kalian telah terbakar,
jadi bagaimana jika kalian semua juga ikut terbakar bersama dengan dirinya?”
“““TOLONG JANGAN SAMAKAN KAMI DENGAN DIRINYA‼!”””
Mereka bukanlah si Bocah Api yang selalu terlihat
terbakar, mereka masihlah manusia biasa yang bisa mati jika dibakar. Kalau kau
memang ingin membakar seseorang, maka bakar saja si Bocah Api itu. Itulah isi
pikiran Ren dan kawan-kawan. Mereka sama sekali tidak ingin terlihat seperti si
Bocah Api yang terlihat sedang terbakar.
“Ayolah, kalian adalah temannya bukan?... jadi kenapa
kalian tidak melakukan hal yang sama dengannya?”
“““DIA BUKANLAH TEMANKU‼!”””
Mereka semua dapat dengan mudah mengatakan hal yang
dapat menyakiti hati temannya. Pak Maman jadi kagum dengan mereka. Mereka
sungguh teman terburuk yang pernah ada di dunia ini.
“Baiklah... kalau begitu pilihlah!... terbakar bersama
dengan buku kalian atau kerjakan tugas kalian dengan benar!”
Mereka semua saling berpandangan sebentar, sebelum
akhirnya mereka kembali melihat ke arah Pak Maman dan memberikan jawaban mereka
dengan suara yang lantang.
“““KAMI MEMILIH UNTUK MEMBAKARMU BERSAMA DENGAN
BUKU-BUKU YANG KAU BERIKAN‼!”””
“KALIAN SEMUA ADALAH MURID-MURID TERBURUK YANG PERNAH
ADA DI DUNIA INI‼!”
Pak Maman benar-benar tidak tahu bagaimana caranya dia
bisa mengajari para muridnya dengan benar. Apakah memang tidak ada cara yang
ampuh untuk mengajari mereka semua? Baik cara lembut ataupun cara kasar
sama-sama tidak berpengaruh pada mereka. Apakah mungkin itu karena diri mereka
memang sudah busuk?
“Aku sebetulnya sangat pusing dengan kalian, kenapa
kalian selalu saja membuat masalah? Apa kalian tidak bosan membuat masalah di
sini?”
Pak Maman kemudian melihat semua anak muridnya kembali
saling memandang satu sama lain. Mereka kali ini terlihat sedang merenungkan
sesuatu.
“Ini mungkin memang karena takdir tuhan yang terlalu
kejam pada kami...”
“Benar sekali, takdir yang kami terima terlalu berat
untuk kami tanggung!”
“Benar sekali... di tempatkan di kelas ini bersama
dengan mereka adalah takdir terberat yang bisa diterima oleh manusia!”
“““BENAR SEKALI, INI ADALAH KESALAH DIA‼!””””
“KENAPA KALIAN SEKARANG MALAH SALING MEYALAHKAN SATU
SAMA LAIN!?”
Pak Maman sangat tidak tahan saat dia melihat semua
murid di kelas F telah saling menunjuk satu sama lain untuk menyalahkan orang
yang ada di sekitarnya. Mereka sama sekali tidak ingin mengakui dosa yang
mereka perbuat. Apakah ini adalah tanda-tanda akhir dunia? Pak Maman bertanya-tanya
dalam hatinya.
“Sudahlah kalian semua! Lebih baik kalian mengerjakan
tugas yang kuberikan tadi, atau Aku akan benar-benar membakar kalian semua
menjadi abu!”
Kata Pak Maman, sebelum dia menuangkan bensin ke
berbagai tempat di ruang kelas F. Dia benar-benar berniat membakar anak
muridnya sendiri.
“Kau bahkan sudah menuangkan bensin itu, sebelum kami
mulai kembali mengerjakan tugas kami... apakah kau sangat tidak percaya kalau
kami akan mengerjakan tugas kami dengan benar!?”
“Tidak, ini bukan masalah kepercayaan... kalau masalah
kepercayaan, Aku tidak perlu lagi meragukan kalian... Aku yakin kalian pasti
akan membuat ulah dan tidak mengerjakan tugas kalian dengan benar... jadi ini
adalah peringatan terakhir untuk kalian, sebelum Aku benar-benar membakar
kalian hidup-hidup!”
“Bukankah kau hanya akan mengotori kelas, jika kami
bisa mengerjakan tugasnya dengan benar... lalu siapa yang akan membersihkan
semua bensin ini, jika kami bisa mengerjakan tugas kami!”
“Tentu saja itu adalah kalian! Kalianlah yang
membuatku melakukan ini, jadi kalianlah yang harus bertanggung jawab!”
“Apakah kau memang benar-benar seorang guru!?”
“Tidak, dia pasti seorang monster!”
“Kau salah, sudah jelas jika dia adalah seekor
gorila!”
“Diamlah kalian dan kerjakan saja tugas kalian
masing-masing dengan benar!”
Setelah mengatakan itu Pak Maman keluar dari kelas F,
dia ingin mencari obat untuk sakit kepalanya. Kalau dia terus berada di kelas
itu, maka kepalanya akan meledak dalam hitungan hari. Setidaknya dia berharap
kalau kepalanya tidak akan meledak hari ini.
Sementara Pak Maman sedang mencari obat untuk sakit
kepala, Ren dan kawan-kawan kembali duduk di kursi mereka. Padahal Ren sudah
membuat rencana untuk menjebak si gorila itu denga berpura-pura rajin, tapi
rencananya langsung gagal total hanya karena si gorila itu mengatakan sesuatu
yang bisa membuatnya dan juga teman sekelasnya yang lain senang dan lupa akan
segela sesuatu di sekitarnya. Dia seharusnya sudah tahu kalau kata-kata manis
hanyalah racun yang bisa menyakiti siapapun yang mendengarkannya.
Ren menghela nafasnya. Tidak ada gunanya dia menyesali
apa yang telah terjadi. Lebih baik dia menyelesaikan masalah yang ada di sini.
Ren kemudian melihat ke seluruh ruang kelasnya. Ada teman sekelasnya yang
sedang mencoba mengerjakan soal di buku, tapi tidak berhasil; ada teman
sekelasnya yang sedang mencoba mencari contekan, tapi sayangnya langsung
dihajar oleh palu; ada teman sekelasnya yang sengaja mencari contekan untuk
dipukul oleh palu (Kalian pasti tahu siapa dia); lalu ada teman sekelasnya yang
sedang memohon-mohon untuk diberi contekan (Dia benar-benar tidak memiliki
harga diri); lalu ada juga teman sekelasnya yang berhasil menjawab semua soal
di bukunya, meskipun sebenarnya buku itu bukan buku soal yang diberikan oleh
Pak Maman, tapi buku teka-teki tak berguna (Kalian juga pasti bisa menebak
siapa ini). Ren sekali lagi menghela nafasnya. Tidak ada satupun dari teman
sekelasnya yang bisa dia andalkan.
“Baiklah semuanya, dengarkan Aku! Kalau seperti ini
terus, kita tidak akan bisa menyelesaikan semua soal yang ada di buku ini....
makanya, Aku mempunyai ide untuk menyatukan kekuatan kita untuk memberantas
semua soal ini!”
“Apakah kau ingin membakar semua buku ini?”
“Apakah kau ingin membakar dirimu sendiri?”
“Apakah kau ingin membakar dirimu sendiri bersama
dengan semua buku ini?”
“TENTU SAJA TIDAK, DASAR ORANG-ORANG YANG TIDAK PUNYA
AKAL SEHAT!”
“““KAU SENDIRI JUGA TIDAK PUNYA AKAL SEHAT!”””
Ren duduk kembali ke kursinya dengan menampakan wajah
kesal. Padahal dia ingin memberikan saran agar mereka bisa menyelesaikan semua
ini dengan lebih mudah dan cepat, tapi mereka semua sudah membuatnya kesal
duluan.
“Tenanglah dulu teman-teman... Ren hanya ingin
membantu kita menyelesaikan masalah ini, jadi kita tidak perlu marah atau
menghinanya... kita hanya perlu mendengarkan dan menuruti apa yang akan
dikatakannya nanti... dengan begitu, kita pasti bisa menyelesaikan semua soal
yang ada di buku ini dengan baik dan benar!”
Entah beruntung atau tidak, ternyata Ren mendapatkan
dukungan dari Bran yang sedari tadi tidak mendapatkan contekan.
“Lalu apa rencanamu, Ketua Iblis? Apakah kau pikir
jika kita berkerja sama, kita dapat menyelesaikan semua soal yang ada di buku
ini tepat waktu?”
“Bisakah kau diam, Alien... Aku memang memiliki rencana, jadi kau lebih baik kau dengarkan
baik-baik intruksi dariku!”
“Baik, baik... lalu apa rencanamu?”
“Baiklah... Hei, Mesum... kau sudah selesai dengan
buku teka-tekimu, kan?”
“Ya, ada apa?”
Doni yang sebetulnya ingin membuka majalah dewasa yang
baru saja dia beli kemarin terpaksa harus menutup kembali buku berharganya,
karena semua orang tengah melihat ke arahnya. Kalau dia membaca buku
berharganya di depan mereka semua, maka dia bisa saja kembali kehilangan buku
berharganya seperti kemarin.
“Aku mempunyai tugas khusus untukmu... kalau kau bisa
melaksanakannya, Aku pastikan kau akan mendapatkan kembali buku berhargamu yang
kemarin hilang... Bagaimana? Apakah kau tertarik melakukannya?”
Ren sudah tahu apa yang disukai bocah mesum itu dan
Ren juga tahu kalau Bran adalah orang yang mengambil buku berharga milik bocah
mesum itu, jadi dia bisa membuat bocah mesum itu patuh padanya dengan
iming-iming mengembalikan buku berharganya. Tidak mungkin bocah itu menolak
tawarannya.
“Apakah itu benar!? Apakah kau benar-benar akan mengembalikan
buku berhargaku yang telah hilang itu!?”
“Tentu saja, buku itu ada di tangan Bran, jadi jika
kau ingin buku itu kembali, maka Aku bisa memaksa Bocah Anjing itu menyerahkan kembali
buku berhargamu... itu juga jika kau mau melakukan apa yang kuperintahkan!”
“Baiklah, Aku akan melakukannya!”
Dengan semangat, Doni berdiri dari kursinya. Tubuhnya
bahkan juga terlihat seperti sedang terbakar oleh api semangat, dia jadi
terlihat mirip dengan Raya yang sedang bersemangat. Sepertinya si bocah mesum
itu akan selalu bersemangat, jika ada kaitannya dengan hal-hal mesum. Ren akan
selalu mengingat hal tersebut.
“Misimu kali ini adalah menyelinap ke ruang kepala
sekolah, lalu memfotonya saat dia memasang pose menjijikan, setelah itu
tunjukan foto tersebut pada si Gorila.... si Gorila itu pasti akan sakit dan
muntah-muntah, lalu dengan begitu, kita bisa terbebas dari hukuman mengerikan
si Gorila!”
[Aku bisa mendengar suaramu, dasar bocah nakal tak
tahu malu! Bisakah kau menjelaskan, apa maksudmu dengan pose menjijikan!? Tidak
ada hal yang menjijikan dari diriku!]
Suara si nenek tua yang juga merupakan kepala sekolah
Ren dan kawan-kawan bisa terdengar dari speaker yang terdapat di kelas F.
Sepertinya rencana Ren telah ditahuai oleh si Nenek Tua.
“Cih, Dasar Nenek Tua sialan! Kenapa kau bisa
mendengar rencanaku?!”
[Itu karena kau berbicara terlalu keras! Kau
seharusnya membisikan rencanamu, jika rencanamu tidak ingin diketahui olehku,
karena Aku telah memasang kamera CCTV di berbagai sudut di kelasmu!]
Ren mengetahui dengan sangat baik kalau kamera CCTV
tidak akan dapat menangkap suaranya, jadi dia sadar jika si nenek itu juga
sudah memasang penyadap di kelasnya. Ini benar-benar merepotkan, dia harus segera
menemukan benda itu atau semua rencananya akan ketahuan oleh kepala sekolahnya
yang sangat tidak tahu malu itu.
“Hei, Nenek Tua... kamera CCTV tidak mungkin bisa
menangkap suaraku, jadi kau pasti juga memasang penyadap di sini... jadi
bisakah kau memberitahuku dimana kau memasang penyadap-penyadap itu!?”
[Memangnya apa yang akan kau lakukan, jika Aku
memberitahumu dimana letak penyadap yang kupasang?]
“Tentu saja Aku akan menghancurkannya!”
“MANA MUNGKIN AKU MEMBERITAHUKANNYA PADAMU, SETELAH
AKU TAHU APA YANG AKAN KAU LAKUKAN‼!”
Kali ini suara itu terdengar bukan dari speaker yang
ada di kelas Ren, tapi langsung dari ruang kepala sekolah.
“Cih! Menyebalkan saja, dasar Nenek Tua sialan tak
berguna!”
“AKU MASIH BISA MENDENGAR SUARAMU!”
Ren mengabaikan suara yang sangat berisik itu dan
lebih memilih untuk mencari ide lainnya. Dia pasti bisa memikirkan solusi untuk
mengatasi masalah yang tengah mereka hadapi saat ini. Rencananya memang sudah
diketahui oleh Nenek Tua itu, tapi bukan berarti dia tidak memiliki rencana
lain
“Baiklah, kalau begitu kita hanya bisa saling membantu
satu sama lain... alias, kita akan saling mencontek! Apa kalian setuju?!”
“Yaaaaaaa‼” (Teriak para murid yang tidak ingin
berpikir dan ingin ingin enaknya saja).
“Tidaaaakkkk!” (Teriak para murid rajin yang bisa
menjawab soal mereka sendiri).
“Ayolah... kalian seharusnya kompak!”
Ren menatap kecewa pada teman sekelasnya. Kenapa
mereka tidak bisa diajak kompak di situasi seperti ini1? Seharusnya mereka
sadar kalau mereka terus seperti ini, mereka benar-benar akan dibakar
hidup-hidup oleh si Gorila jelek itu.
“Mana mungkin Aku membiarkan kalian begitu mudahnya
mencontek hasil kerja kerasku begitu saja... hanya orang bodoh yang akan
melakukan hal seperti itu!”
Grace mengatakannya dengan nada yang terdengar malas.
Dia benar-benar malas menanggapi ide Ren yang sangat tidak mengenakan baginya.
Dia yang susah-susah berpikir, tapi justru orang lain yang mendapatkan
hasilnya. Mana mungkin dia membiarkan hal tersebut terjadi, setidaknya dia
harus mendapatkan hal yang setimpal sebagai ganti rugi atas usaha yang dia
keluarkan.
“Tenang saja, kami tidak hanya akan mencontek padamu,
tapi juga pada orang lain yang bisa menjawab soal di buku sialan ini, jadi kau
tidak perlu khawatir!”
“BUKAN ITU MASALAHNYA DASAR IBLIS BODOH!”
Grace tidak dapat menahan suaranya dan langsung
berteriak tanpa berpikir dua kali. Dia benar-benar dibuat kesal oleh kalimat
yang meluncur dengan entengnya dari mulut siswa yang memiliki wajah mirip iblis
itu.
“Apakah kau memang tidak bisa mengerjakan soal itu
sendiri, bukankah dalam tes masuk sekolah kau mendapatkan nilai tertinggi!?”
“Ren mendapatkan nilai tertinggi di sekolah ini?! Itu
mustahil!”
Putri sangat tidak percaya dengan apa yang baru saja
dia dengar. Bagaimana mungkin manusia bisa dikalahkan oleh iblis dalam hal
kecerdasan. Apakah Iblis memang lebih pandai dari manusia!?
“Itu hanyalah bagian dari masa lalu, kau tidak perlu
mengingat hal semacam itu lagi... masalah terpenting yang harus kita hadapi
saat ini adalah cara menyelesaikan semua soal yang ada di buku sialan ini!”
Ren sangat tidak ingin mengingat kejadian di mana dia
berhasil menduduki peringkat pertama dalam ujian masuk sekolah. Itu bukan
karena ada kejadian yang tidak mengenakan saat dirinya melihat kalau namanya
ada di peringkat pertama saat pengumuman murid yang diterima di sekolah ini,
tapi karena alasan di balik dia mendapatkan nilai tertinggi. Dia berusaha
mendapatkan nilai tertinggi agar ada banyak orang yang kagum padanya dan bahkan
mengidolakannya, tapi sayangnya itu hanya terjadi di dalam dunia khayalan Ren,
karena kenyataannya tidak ada satupun murid yang kagum padanya, malah mereka
langsung lari ketakutan saat mereka melihat wajah Ren yang sangat menakutkan.
Bahkan yang terparah, Ren pernah mendengar rumor kalau dirinya mengancam para
guru agar membuat nilainya sangat bagus, makanya dia bisa berada di peringkat
pertama. Ren sungguh marah saat dirinya mendengar rumor tersebut. Apakah mereka
tidak memikirkan betapa susahnya Ren belajar saat malam-malam sebelum ujian
masuk diadakan!? Andai mereka tahu apa saja yang telah dilalui oleh Ren saat
masa-masa itu, mereka pasti tidak akan mungkin membuat rumor semacam itu lagi.
Ren menghela nafasnya. Dia telah menyadari kalau
memang tidak ada gunanya dia terus mengeluh dalam pikirannya. Apa yang telah
terjadi tidak akan bisa diubah kembali. Apa yang bisa Ren lakukan saat ini
hanya terus bergerak maju dan menghancurkan setiap orang yang berani
mengejeknya atau menyebarkan rumor buruk tentangnya. (Seperti biasa, Ren memang
selalu mengerikan luar dalam).
“Baiklah... dengan begini... operasi menyontek dan
menyelesaikan semua soal di buku sialan ini dimulai!”
Ren dengan seenaknya memerintahkan sebuah perintah
yang sangat memberatkan bagi sebagian siswa dan sangat menyenangkan bagi
sebagian lainnya.
OPERASI
MENGERJAKAN TUGAS BAGI SISWA YANG MAU MENGERJAKAN TUGAS DAN OPERASI MENYONTEK
BAGI SISWA YANG MAU ENAKNYA SAJA :
DIMULAI!
Ren segera membagikan jawaban yang telah dia dapatkan
kepada Bran. Saat ini di meja Bran sudah berkumpul para siswa yang tidak mau
berpikir yang sedang menunggu datangnya jawaban soal mereka. Para siswa itu
langsung mengisi jawaban pada buku mereka, begitu Ren memberikan buku soalnya
pada Bran.
Sementara para siswa itu sedang menyalin jawaban dari
buku Ren, Alian bertugas untuk mencari contekan lainnya. Meskipun dia sangat
enggan melakukannya, karena yang akan menjadi target menyonteknya adalah trio
gadis yang sangat menakutkan baginya, tapi karena dia diancam oleh Ren, dia
terpaksa melakukannya. (Ren mengancam akan mengikat Alian dan menguncinya di sebuah
ruangan yang sangat gelap bersama dengan ketiga gadis itu, jika dia tidak mau
membantunya dalam operasi menyontek tersebut).
Dengan takut-takut, Alian menghampiri mereka bertiga.
Sedangkan mereka bertiga yang wajahnya sedang memerah dengan senang hati mempersilahkan
Alian untuk duduk di tengah-tengah mereka. Mereka sengaja menyiapkan sebuah
bangku khusus di tengah-tengah mereka untuk Alian sejak awal, karena mereka
tahu kalau Alian pasti akan datang dan menyontek pada mereka.
‘Kenapa Aku harus melewati sesuatu seperti ini!?’
Meskipun Alian terus menggerutu dalam hatinya, tapi
dia tidak bisa lagi menolak takdir yang tengah menunggunya. Setelah menghela
nafas panjang, Alian mulai duduk di tengah-tengah mereka bertiga dan menyontek
jawaban mereka. Alian juga tak lupa berdoa dalam hatinya agar dia bisa melihat
matahari keesokan harinya.
“Alian sayang, kau bisa mencontek bukuku!”
“Tidak, Alian cintaku, kau contek saja bukuku!”
“Jangan mau, Alian suamiku.... lebih baik kau
menyontek punyaku saja!”
Kemudian mereka bertiga memulai keributan di antara
mereka dengan Alian yang berada di tengah-tengah mereka. Mereka bertiga tidak
mau mengalah dan ingin Alian untuk menyontek di buku mereka. Pemandangan itu
tentu saja membuat para lelaki jomblo yang sedang melihat mereka cemburu
setengah mati. Kenapa selalu saja orang itu yang mendapatkan bagian baiknya,
mereka juga mau berada di tengah-tengah tiga gadis cantik dan diperebutkan.
Mereka sama sekali tidak melihat ekspresi ketakutan
milik Alian yang sedang mencoba untuk larikan diri dari tempatnya duduk saat
ini, tapi sayangnya dia tidak bisa melakukan hal tersebut karena saat ini dia
sedang dikelilingi oleh tiga gadis yang sedang meributkan buku siapa yang
sebaiknya dicontek oleh Alian.
Alian bersumpah dalam hatinya bahwa dia akan membalas
perbuatan Ren yang menyebabkan dirinya berada di situasi yang sangat mengerikan
seperti saat ini.
Sedangkan Ren yang bukunya sedang dicontek oleh orang
lain hanya sedang berleha-leha di bangkunya. Dia terlihat sama sekali tidak
peduli dengan apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Apa yang dia pikirkan saat
ini hanyalah bersantai dan menikmati hasil jerih payah orang lain. (Dia memang
cocok dengan sebutan Iblis).
“Oi, Ketua Iblis... kami telah selesai menyalin semua
jawaban dari bukumu.... sekarang apa yang harus kami lakukan!”
Bran memberikan laporan pada Ren yang sedang duduk
santai di bangkunya. Ren sebetulnya merasa kesal karena waktu istirahatnya tiba-tiba
saja diganggu dan juga karena Bran memanggilnya Iblis, tapi karena ada hal yang
lebih penting lagi untuk Ren katakan, maka dia menahan dirinya untuk memarahi
Bran dan lebih memilih mengatakan tugas Bran yang selanjutnya.
“Baiklah, tugasmu yang selanjutnya adalah mencari
contekan pada murid yang lain!”
“Tunggu dulu, Ren! Bukankah seharusnya kau sadar kalau
Aku tidak pernah mendapatkan contekan, meskipun Aku telah mencarinya ke
sekeliling kelas dan sekarang kau malah menyuruhku untuk mencari contekan lagi!”
“Kau ada benarnya juga... kalau begitu tugasmu adalah
mengambil buku soal milik si Alien... dia saat ini tengah berada di antara tiga
gadis yang sangat ganas... kau harus berhati-hati dan bawalah dengan selamat
buku yang telah dia isi itu!”
“Tunggu dulu, Ren! Apakah kau tidak ingin
menyelamatkan kawanmu ini!?”
“Aku tidak ingat kalau pernah memiliki kawan
sepertimu!”
Ren dengan kejam menolak perminataan tolong dari Alian,
dia bahkan tidak mengakui pertemanan mereka yang sudah dimulai sejak mereka
masih sangat kecil. Kemarahan Alian kepada Ren sekarang sudah semakin memuncak.
Dia pasti akan membuat Ren menyesal karena melakukan semua ini padanya suatu
saat nanti.
“Cepat pergi, Bocah Anjing!”
“Guk!”
Yang pergi ke tempat Alian sedang terkurung di antara
tiga gadis ganas bukanlah Bran, melainkan anjingnya yang paling kecil, Shiroku.
Anjing kecil itu kemudian langsung terlempar jauh akibat
tendangan salah satu gadis dari ketiga gadis yang sedang mengepung Alian yang
diketahui bernama Nunu. Dia melakukan itu, karena dia merasa acara menggoda
calon suaminya terganggu oleh suara berisik anjing kecil itu.
“Tunggu dulu, Bocah Anjing! Kenapa bukan kau yang
pergi mengambil buku itu!?”
“Mereka terlalu menakutkan... Aku tidak berani
mendekati mereka sedikitpun!”
“Lalu kau menyuruh anjingmu melakukannya! Apakah kau
benar-benar seorang pecinta anjing?”
Sebetulnya Bran juga tidak tega menyuruh Shiroku untuk
melakukan hal tersebut, tapi itu masih lebih baik dari pada tubuhnya hancur
berkeping-keping oleh perbuatan ketiga gadis itu. Mereka bertiga saat ini
terlihat seperti mahluk buas yang baru saja menemukan mangsanya.
“Hei, Alien tak dikenal... cepat meleparkan buku yang
ada di tanganmu kepadaku!”
“Kalau kau tidak menyelamatkanku, Aku tidak akan
memberikan buku ini padamu!”
Sangat menyebalkan. Ren tahu kalau dirinya tidak
mungkin menerobos masuk ke dalam kepungan mereka bertiga dan pergi
menyelamatkan si Alien, karena dia tahu kalau dia hanya akan berakhir menjadi
mangsa mereka bertiga. Dia harus melakukan sesuatu yang tidak membahayakan
nyawanya dan juga bisa menyelamatkan nyawa si Alien. Itu jelas tidak mungkin
bisa dilakukan olehnya.
“Huuu.... sepertinya Aku tidak memiliki pilihan lain!”
Senyum Alian langsung mengembang begitu dia mendengar
gumaman yang dikeluarkan oleh Ren, karena dia menyangka kalau dirinya akan
diselamatkan oleh iblis itu, tapi senyumnya langsung menghilang ditelan angin
begitu dia mendengar kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut si Ketua Iblis
itu.
“Hei, kalian bertiga... Aku berjanji akan mencarikan
tempat yang aman untuk kalian bertiga melakukan hal-hal yang terlarang pada
Alien itu, jika kalian bersedia memberikan buku soal kalian padaku!”
“KAU BAHKAN SAMA SEKALI TIDAK BERNIAT MENOLONGKUUUU‼‼”
The Sister langsung melemparkan buku soal mereka
kepada Ren, begitu mereka mendengar penawaran Ren. Sepertinya mereka bisa
berpesta dengan bebas nanti malam bersama dengan pujaan hati mereka.
Ren kemudian merasa bahwa dirinya sangat bodoh, begitu
dia menangkap ketiga buku yang melayang ke arahnya. Dia merasa bodoh karena
tidak memakai cara itu sedari awal, karena kalau dia melakukan hal tersebut,
dia pasti sudah sedari tadi menyelesaikan semua soal yang ada di bukunya.
“Hei, kalian.... tangkap dua buku ini!”
Setelah mengatakan itu, Ren melemparkan dua dari tiga
buku yang dia dapatkan kepada teman sekelasnya yang sedang menunggu contekan.
Sedangkan satu buku lainnya Ren gunakan untuk contekannya sendiri.
Bran dengan lihai menangkap kedua buku yang melayang
ke arahnya. Dia juga dengan gesit membuka halaman buku yang belum dia isi dan
menyebarkan jawaban buku tersebut pada teman seperjuangannya yang lain. Mereka
semua dengan cepat mengisi jawaban pada buku mereka masing-masing, mereka semua
nampak tidak peduli dengan nasib Alian yang sekali lagi sedang terancam
kehilangan kesuciannya. Alian sungguh ingin membalas perbuatan mereka padanya
saat ini juga.
Sementara teman sekelasnya sedang melakukan acara
menyontek, Grace hanya fokus pada soal di bukunya. Dia terlihat tidak tertarik
dengan apa yang sedang dilakukan teman sekelasnya. Mungkin itu karena dia sudah
lelah menasihati mereka.
Kalau Grace nampak tidak peduli sedikitpun dengan
kelakukan Ren dan teman-teman seperjuangannya, Putri justru sangat tertarik
dengan apa yang sedang mereka lakukan. Dia merasa kalau dia terus mengawasi
mereka, maka dia bisa menyaksikan kemampuan memimpin Ren yang sangat legendaris
di sekolah ini. (Kemampuan memimpin Ren di sekolah ini sangat terkenal, karena
kekejamannya dan juga karena tidak pernah memberikan ampun sedikitpun pada para
anak buahnya.)
Sebetulnya selain Putri, Liliana juga sedang mengawasi
Ren sedari tadi, tapi dia melihatnya hanya dengan menggunakan ujung matanya.
Dia terlalu malu untuk memandang Ren yang tengah menulis jawaban di bukunya.
Gawat! Hanya dengan memandangnya sebentar, telah membuat dirinya merasa akan
segera pingsan.
“Tunggu Liliana! Kenapa kau tiba-tiba pingsan!? Apakah
ini juga karena ulah Ren!” Grace berteriak sambil berlari menuju ke tempat
Liliana pingsan.
“Kenapa kau malah menyalahkanku, Gadis Palu!” Ren yang
tidak terima dirinya terus saja disalahkan, segera membalasnya dengan suara
keras.
“Kalau bukan kau, memangnya siapa lagi!?” Grace
membalasnya dengan sinis.
Ren yang akan berjalan menuju ke tempat Liliana
pingsan memutuskan untuk kembali duduk dan mengerjakan tugasnya. Ren berpikir
kalau dirinya ke sana, dia hanya akan menambah masalah, jadi dia memutuskan
untuk berpura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi dan fokus kembali pada
tugasnya. (Sebetulnya alasan Ren tidak jadi berjalan ke tempat Liliana, karena
dia merasa kalau akan terjadi sesuatu yang buruk padanya).
“Hei, Raja Iblis ketujuh sialan... kenapa kau tidak
mau menolongku dan malah memojokanku tadi!?”
Alian yang telah terlepas dari kepungan ketiga siswi
itu segera mendatangi Ren dan melancarkan aksi protesnya. Dia tidak terima jika
harus dijadikan korban yang sia-sia.
“Ayolah... kau sama sekali tidak terlihat membutuhkan
pertolongan di mataku... Aku tahu kalau sebetulnya kau sangat menikmati
kejadian yang tadi kau alami... benar, bukan?”
“Aku sama sekali tidak menikmati kejadian tersebut!”
Wajah Alian sangatlah merah saat dirinya mengatakan
itu. Dia sungguh-sungguh tidak menikmati kejadian tersebut, karena bukan dia
yang mendominasi di sana. Kalau saja dirinya yang mendominasi, dia pasti akan
sangat menikmati kejadian tersebut.
“Kau pasti saat ini sedang memikirkan sesuatu yang
mesum, bukan?... dan jangan mengelak lagi, karena wajahmu telah menunjukan
semuanya!”
Setelah mengatakan itu, Ren kembali fokus pada
bukunya. Masih ada banyak soal yang belum dijawabnya, jadi dia harus menambah
kecepatan menulisnya, kalau dia tidak ingin dibakar hidup-hidup oleh si Gorila
jelek itu.
Sementara Ren sedang sibuk dengan tugasnya, kita akan
kembali ke beberapa menit yang lalu, ke saat-saat ketika Alian mencoba lepas
dari kepungan tiga orang gadis yang sangat liar mengincar kesuciannya.
Alian dengan ketakutan memandang ketiga gadis yang
sedang mencoba menelanjangi dirinya. Dia sudah tahu kalau dirinya lengah
sedikit saja, maka mereka bisa menelanjanginya tanpa dia sadar, jadi dia harus
ekstra hati-hati saat ini.
Apa yang sebaiknya dia lakukan di situasi seperti ini?
Apakah dia harus mengambil resiko dengan menerobos mereka? Tidak! Dia tidak
bisa melakukan hal tersebut, karena dia bisa saja masuk ke dalam keadaan yang
lebih buruk lagi, jika dia berani mengambil keputusan yang sangat ceroboh
seperti itu. Lalu apa yang bisa dia lakukan? Seharusnya kemampuan otaknya
tidaklah jauh berbeda dengan Ren, tapi kenapa dia tidak bisa membuat strategi
yang bagus seperti Ren?! Tidak, Ren sama sekali tidak bisa membuat strategi
yang bagus, dia hanya bisa membuat strategi yang menakutkan dan berbahaya.
‘Tenanglah Alian, kau pasti bisa menemukan ide yang
bagus untuk bisa lolos dari sini dengan selamat dan dalam keadaan suci seperti
sebelumnya.’
Alian menyemangati dirinya di dalam hati. Dia tidak
boleh merasa terpojok hanya karena ini. Kalau dia ingin keluar dari masalah
ini, yang perlu dia lakukan adalah berpikir seperti Ren. Apa yang akan
dilakukan oleh Ren, jika si Iblis itu berada di posisinya saat ini? Menakuti
mereka dengan mata merahnya yang sangat menakutkan. Tidak baik, dia tidak bisa
melakukan hal seperti itu, karena dia tidak memiliki mata berwarna merah
menakutkan.
‘Ayolah, Alian! Masa kau tidak bisa memikirkan ide
lainnya.’
Alian sekali lagi mencoba menyemangati dirinya di dalam
hati. Dia mencoba untuk berpikir sekali lagi. Dia yakin kalau dirinya pasti
bisa menemukan jawabannya. Dia harus berpikir cepat atau dia hanya akan
berakhir ditangkap dan ditelanjangi oleh ketiga gadis yang telah mengepungnya sedari
tadi.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya dia menemukan
sebuah solusi yang kemungkinan bisa menyelamatkannya dari situasi ini. Dia hanya
harus memanfaatkan penawaran yang dilakukan oleh Ren pada mereka bertiga.
“Hei, para gadis!”
“““Hei, Alian Ganteng!”””
‘Kenapa kalian bisa tiba-tiba kompak seperti itu!? Dan
lagi namaku bukan Alian Ganteng, tapi Alian Fernandes!’
“Aku tadi mendengar kalau kalian menerima tawaran Ren
yang ingin mencarikan tempat bagus untuk kita bersenang-senang, bukan?”
“““Ya, memang ada apa, Sayang?”””
“Anu... bagaimana kalau kita menunda pesta kita sampai
Ren menemukan tempat tersebut? Untuk saat ini sebaiknya kita melakukan
persiapan, seperti menyiapkan pakaian yang bagus atau semacamnya... kurasa
tidak baik jika kita terlalu terburu-buru.”
“““Ya, baiklah!”””
Alian menghembuskan nafas leganya, begitu mereka
bertiga mengangguk setuju dan membiarkan dirinya lepas.
Ren pasti tidak akan benar-benar menempati janjinya.
Iblis itu pasti tidak akan pernah mencari tempat seperti itu. Itu sudah pasti,
dia yakin sekali tentang hal tersebut. Alian terus saja meyakinkan dirinya
kalau Ren tidak akan pernah menemukan tempat yang telah dia janjikan pada
ketiga gadis tersebut.
Setelah lepas dari mereka bertiga, hal pertama yang
harus dia lakukan adalah melancarkan protesnya pada Iblis sialan itu.
Jadi begitulah kisah bagaimana Alian bisa terbebas
dari cengkraman mereka bertiga. Lalu apa yang sedang ketiga gadis itu lakukan
saat ini, mereka bertiga saat ini sedang membayangkan bagaimana malam mereka
bertiga bersama dengan Alian, sang pujaan hati mereka. Alian benar-benar
bergidik saat dirinya melihat gambar hati yang berterbangan dari tubuh mereka.
Kita kembali lagi pada Ren yang masih asik mengisi
buku soalnya. Dia terlihat seperti bukan dirinya, dia terlihat seperti siswa
rajin yang tengah mengerjakan tugasnya dengan rajin (jika saja dia tidak
mencontek, dia pasti benar-benar akan menjadi siswa yang rajin dan disayang oleh
para guru... tidak, kalau untuk kasusnya sepertinya menjadi siswa rajin masih
tidak cukup untuk membuatnya disayang oleh para guru).
“Hai, para murid kesayanganku... maaf karena Aku
datang terlambat hari ini!”
Saat Ren dan teman-temannya yang sedang sibuk dengan
tugas mereka masing-masing (meskipun ada juga yang sibuk dengan kegiatan mereka
sendiri), seorang guru yang memakai jas sangat rapi yang membuat dirinya tampak
sangat keren, masuk ke kelas mereka. Kedatangannya yang terlambat membuat semua
siswa di dalam kelas sangat terkejut, karena tidak ada yang menyadari
kedatangannya sampai dirinya menyapa mereka.
“Ada apa dengan kalian semua? Apakah kalian memiliki
sesuatu yang perlu kalian katakan padaku?”
Tidak ada yang menjawabnya selama beberapa puluh detik
ke depan, sampai akhirnya Ren membuka suaranya dan diikuti oleh yang lain.
“KENAPA KAU DATANGNYA LAMA SEKALI!?”
“ITU BENAR! APAKAH KAU TIDAK MENYADARI BETAPA
MENDERITANYA KAMI SAAT DIRIMU TIDAK ADA!?”
“BENAR SEKALI! KAU MUNGKIN TIDAK TAHU, TAPI KAMI TELAH
MELEWATI SAAT-SAAT TERBURUK YANG PERNAH ADA SAAT DIRIMU TIDAK ADA DI SINI‼”
Teriakan seperti itu terus terdengar dari mulut para
murid kelas F. Mereka terdengar sangat menderita saat mereka meneriakan isi
hati mereka. Sepertinya apa yang mereka teriakan memang berasal dari lubuk hati
mereka yang terdalam.
“Aku benar-benar tidak menyangka kalau kalian
benar-benar menyayangiku sampai kalian mengatakan semua hal tersebut!”
Tapi sepertinya teriakan-teriakan mereka telah
disalahpahami oleh si guru yang suka datang terlambat tersebut. Dia sekarang
malah terharu oleh mereka, padahal mereka hanya sedang meluapkan emosi mereka
yang terpendam dan tidak sedang menangisi ketidak hadirannya ataupun mengatakan
hal baik tentangnya.
“Hmmm... sepertinya tadi kalian sedang mengerjakan
tugas, bukan?... karena Aku sedang dalam suasana hati yang sangat baik, maka
Aku akan membebaskan kalian dari tugas tersebut... kalian boleh melemparkan
buku kalian sesuka kalian ke manapun kalian mau!”
Setelah si guru mengatakan itu, mereka semua
melemparkan buku soal mereka seperti yang diperintahkan si guru, tapi mereka
semua melemparkannya ke arah si guru, bukannya ke atas.
“Tunggu dulu, murid-murid tersayangku! Kenapa kalian
melemparkannya ke arahku!?”
“Kalau kau membebaskan kami dari tugas ini, lalu untuk
apa kami mengerjakan semua soal yang sangat menyebalkan ini!?”
“Betul sekali! Padahal kami melewati saat-saat yang
sangat sulit, karena kami mengerjakan tugas ini!”
“Kau benar-benar guru terburuk yang pernah ada, sudah
datang terlambat, lalu sekarang kau malah membuat kerja keras para murid jadi
terbuang sia-sia!”
Mereka semua terus melemparkan buku dan benda lainnya
yang berada di dekat mereka kepada guru yang berdiri di depan mereka. Mereka
semua meluapkan kemarahan mereka padanya.
“Sebetulnya ada apa dengan kalian? Bukankah biasanya
kalian sangat senang saat kalian tidak mendapatkan tugas!?”
Si guru, yang bernama Deni Armansyah, sangat bingung
dengan kemarahan para muridnya. Dia sudah menjadi wali kelas mereka sejak kelas
satu, jadi dia sudah mengenal baik sifat semua muridnya di kelas F. Seharusnya
mereka saat ini bersorak kegirangan dan melemparkan buku tugas mereka ke atas
kepala mereka, ketika dirinya mengatakan kalau mereka bebas dari tugas mereka,
tapi kenapa saat ini mereka sedang melemparkan segala sesuatu yang berada di
dekat mereka ke arahnya!?
STATUS
OPERASI MENGERJAKAN TUGAS BAGI SISWA YANG MAU MENGERJAKAN TUGAS DAN OPERASI
MENYONTEK BAGI SISWA YANG MAU ENAKNYA SAJA :
BERAKHIR
DENGAN SIA-SIA.
Semua murid kelas F menatap tajam pada guru wali kelas
mereka yang sedang menampilkan wajah yang terlihat bersalah. Mereka semua sudah
menceritakan apa saja yang terjadi selama Pak Deni tak ada di kelas mereka
(Tentu saja Ren dan teman-temannya telah sedikit mengubah cerita yang
sebenarnya agar mereka tidak terdengar seperti orang yang bersalah) dan Pak
Deni merasa bersalah karena telah membuat para anak didiknya menderita.
“Kurang lebih Bapak telah mengerti apa saja yang
kalian lewati selama Bapak tak ada dan karena Bapak merasa bertanggung jawab,
maka Bapak akan berbicara dengan Pak Maman dan menyuruhnya agar tidak terlalu
keras lagi pada kalian... bagaimana, apakah kalian mau memaafkan Bapak?”
Ren menghela nafas, lalu mengendorkan sedikit ototnya,
sebelum akhirnya membalas permintaan maaf dari Pak Deni.
“Kami akan memaafkanmu, tapi jika kau bisa memenuhi
semua syarat yang kami ajukan!”
“Lalu apa saja syaratnya?”
“Syaratnya adalah...”
Riiingggg...
Belum sempat Ren mengucapkan syarat yang akan
diajukannya, ternyata bel telah berdering yang menandakan kalau jam pelajaran
Pak Deni telah berakhir.
“Hmmm... sepertinya jam pelajaran Bapak telah
berakhir, kalau begitu.... selamat tinggal!”
Setelah mengatakan itu, Pak Deni segera pergi
meninggalkan kelas F untuk melarikan diri dari syarat yang akan diajukan oleh
Ren. (Seperti dia sudah menyadari kalau dirinya akan sangat menderita, jika
dirinya menerima syarat dari Ren).
“Hei, tunggu dulu! Mau kemana kau!?”
Setelah terdiam beberapa detik karena tercengang, Ren
akhirnya sadar dan mulai mengejar Pak Deni yang telah berlari menjauh kelas F,
tapi baru beberapa detik dirinya berada di luar kelas, Ren malah kembali ke
dalam kelas.
“Ada apa, Ren? Kenapa kau kembali ke kelas dan tidak
mengejar guru sialan itu?”
Belum sempat Ren menjawab pertanyaannya, Bran sudah
mendapatkan jawabannya terlebih dahulu saat dirinya melihat sesuatu yang ikut
masuk ke dalam kelas, setelah Ren berjalan kembali ke kursinya.
“Ghhhaaaaaa... ada gorila yang bisa berjalan dengan
hanya kedua kakinya‼”
“SIAPA YANG KAU PANGGIL GORILA?‼”
Pak Maman berteriak sambil melemparkan buku yang sangat tebal di tangannya ke arah wajah
Bran. Buku itu tepat mengenai wajahnya dan membuat Bran terjatuh dari kursinya
dan terbaring ke sakitan di lantai kelas.
“Ya, ampun... padahal jam pelajaran baru saja
berganti, tapi kalian telah membuat masalah.... sebagai hukumannya, selama
sebulan, kalian tidak akan mendapatkan jam istirahat!”
““““TIDAAAAAKKKKKK””””
Teriakan menyedihkan dari para siswa kelas F telah
menjadi penanda dimulainya jam pelajaran selanjutnya yang tak kalah
mengerikannya dari jam pelajaran sebelumnya.
Sebelumnya | ToC | Selanjutnya