Belajar dengan guru yang usianya lebih dari 30 tahun, tapi masih belum menikah adalah bencana yang sulit diatasi.
Ren dan kawan-kawannya melihat ke arah langit yang
sedang menurunkan berjuta-juta tetesan air dari jendela kelas mereka. Hujan di
luar sana terlihat sangat lebat, mereka mulai bertanya-tanya bagaimana mereka
bisa pulang dari sekolah ini, jika hujan terus turun dengan derasnya. Apakah
mereka akan menginap di kelas yang mengerikan ini? Mereka benar-benar ketakutan
saat mereka membayangkan kalau diri mereka akan menginap di tempat ini bersama
dengan teman sekelas mereka yang mengerikan.
“Ketua Iblis!”
“Bisakah kau tidak memanggilku dengan Iblis!?”
“Maaf, tapi sebentar lagi si Nenek Sihir akan datang
ke kelas kita dengan membawa cambuk di tangannya!”
“Kenapa Nenek Sihir itu bisa datang ke kelas kita
dengan cuaca seburuk ini!? Belum lagi, kenapa dia harus membawa cambuk ke kelas
ini!?”
“Ren, mungkin itu karena kita tadi membuatnya marah!
Kau masih ingat kejadian di lapangan, bukan?”
“Oh, kau benar!”
Setelah diingatkan oleh Putri tentang hal itu, Ren
akhirnya menyadari bagaimana bisa wanita tua itu bisa menerobos badai ini dan
mengapa dia membawa cambuk di tangannya. Dendam di hatinya pasti adalah
penyebab mengapa dia mau melakukan hal itu. Dia tidak peduli apakah itu badai
atau kawan-kawannya yang sedang menghalanginya, dia tetap akan menerobosnya,
jika dia bisa menuntaskan dendam di hatinya. (Apakah ada guru di dunia ini yang
seperti dirinya?).
“Ren, A-apa yang a-akan kita lakukan?”
Bran bertanya dengan takut-takut, dia sudah ketakutan,
bahkan sebelum Bu Kartina masuk ke dalam kelas untuk menghukum mereka. Tentu
saja Ren mengerti perasaan takut Bran, karena dia juga sedang sangat ketakutan
saat ini. Bukan hanya mereka berdua, tapi hampir semua teman sekelasnya juga
sedang sangat ketakutan saat ini.
“Mau bagaimana lagi... kita hanya bisa mengorbankan
Maso untuk menuntaskan kemarahannya, kalau dia sudah selesai menyiksa Maso,
maka kita akan langsung lari... karena Aku yakin dia tidak akan puas hanya
dengan menyiksa Maso seorang, dia pasti akan mencari korban lainnya!”
“Tapi bagaimana caranya kita lari? Di luar sana sedang
hujan lebat!”
“Kalau begitu, kita dengan terpaksa harus mengorbankan
dua atau tiga anjing milik si Bocah Anjing itu!”
“Kenapa kita harus mengorbankan anjing-anjingku yang
sangat manis ini? Apakah kau tidak mengerti bagaimana perasaan para anjing ini,
jika kita harus mengorbankan dua atau tiga di antara mereka?”
“Karena Aku bukan anjing, maka Aku tidak mungkin bisa
mengerti perasaan mereka!”
“Kau tidak perlu menjadi anjing untuk mengerti
perasaan anjing, kau hanya perlu mencoba memahami perasaan mereka!”
“Aku masih tidak mengerti dengan apa yang kau katakan!
Apakah ada orang yang bisa menjelaskan padaku apa maksud kata-katanya tadi?”
“Aku tidak mengerti!”
“Aku sama sekali tidak mengerti!”
“Hanya orang terbodoh di dunia ini yang bisa mengerti
maksud perkataannya!”
“Kejam! Kalian adalah teman sekelas terkejam di dunia
ini!”
Bran benar-benar ingin menangis, karena dia memiliki
teman-teman sekelas seperti mereka. Bran bertanya-tanya, apakah mereka masih
pantas di sebut sebagai teman sekelas yang baik?
“Kita lupakan saja dia... bersiaplah kalian semua,
setelah Nenek Sihir itu selesai menyiksa si Masocist, maka kita akan langsung
memberikan anjing-anjing si Bocah Anjing sebagai pengganti kita... jadi segera
tangkap semua anjing milik si Bocah Anjing! Aku tidak jadi mengorbankan dua
atau tiga anjing, kita Aku korbankan saja semua anjing miliknya!”
“Kenapa kau masih saja berniat mengorbankan
anjing-anjing manisku!?”
“Tentu saja Aku tetap akan melakukan itu, karena
mengorbankan anjing-anjing itu masih lebih baik dari pada mengorbankan
manusia!”
“Anjing itu adalah mahluk hidup, sama sepertimu!”
“Jangan samakan Aku dengan anjing!”
Ren heran dengan si pecinta anjing di depannya itu.
Kenapa dia sangat menyukai mahluk yang sering mengluarkan air liur itu?
“Jadi kau tidak mau disamakan dengan anjing, ya?”
“Tentu saja, siapa juga yang mau disamakan dengan
anjing, kecuali orang yang berbau seperti anjing di sana itu!”
“Begitukah, Aku mengerti..... Lalu, kenapa kalian
semua malah bertindak seperti anjing liar yang tidak pernah dilatih sopan
santun oleh siapapun!!?”
“““HEEEEE!? Nenenk Sihir! Kenapa kau ada di sini?!”””
“Siapa yang kalian panggil Nenek Sihir!?”
Bu Kartina berteriak tidak terima ke arah para
muridnya berada. Kenapa mereka selalu saja menyebutnya Nenek Sihir? Padahal tidak
ada satupun dari penampilannya yang mirip dengan Nenek Sihir.
Di tangannya sudah tergenggam sebuah cambuk, dia
sangat ingin mencoba kemampuan cambuknya pada para murid kurang ajar di
depannya.
“Kalau kalian tidak duduk di kursi kalian
masing-masing, Aku akan mengajarkan kalian tentang sopan santun yang
sesungguhnya, tentu saja Aku akan menggunakan cambuk kesayanganku ini!”
Ren dan kawan-kawan langsung berlari ke tempat duduk
mereka masing-masing dan duduk dengan tenang. Mereka semua tampak sangat
ketakutan dengan cambuk yang dibawa oleh Bu Kartina. Tubuh mereka pasti akan
langsung terasa sangat sakit, jika tubuh mereka terkena cambukan dari Nenek
Sihir itu.
Bu Kartina kemudian berjalan menuju ke depan kelas dan
memulai pelajarannya. Sementara muridnya yang lain hanya dapat meneguk ludah
mereka dengan ketakutan.
“Baiklah, Aku akan melupakan apa yang kalian katakan
di lapangan dan juga kejadian yang tadi.... itu jika kalian dapat memuji
kecantikanku! Jadi tugas kalian saat ini adalah membuat puisi tentang
kecantikanku dan membacakannya di depan kelas!”
“““TUNGGU DULU, NENEK SIHIR!‼ TOLONG JANGAN MENYURUH
KAMI MELAKUKAN HAL YANG TIDAK MUNGKINNNN‼!”””
“APA YANG KALIAN MAKSUD DENGAN TIDAK MUNGKIN!? DAN
LAGI, SIAPA YANG KALIAN PANGGIL NENEK SIHIR‼?”
Membuat puisi tentang kecantikan guru mereka itu, yang
benar saja. Bagaimana mungkin mereka bisa melakukan hal mustahil semacam itu.
“Wajah kalian menunjukan kalau kalian tidak sanggup
melakukan hal itu... mau bagaimana lagi, kurasa Aku akan memberikan kalian
contoh!”
Setelah itu Bu Kartina batuk sebentar untuk
membersihkan suaranya, lalu dia mulai membacakan puisi yang telah dibuat
semalaman.
“Wajahku cantik seperti Ratu Cleopatra!”
“Yang kau maksud itu pasti adalah Ratu yang meninggal
bunuh diri, karena konflik cinta segitiganya!”
“Tidak, maksudku adalah Aprodite... ya, Aprodite!”
“Apakah yang kau maksud itu adalah dewi yang selalu
memberikan tubuhnya pada banyak pria yang tidak jelas?”
“Bagaimana dengan Dewi Hera?”
“Kalau tidak salah suaminya sering berselingkuh dengan
banyak wanita!”
“Juliet! Dia terkenal dengan kisah romantisnya, bukan?”
“Dia adalah wanita yang bunuh diri, karena melihat orang
yang dicintainya pura-pura bunuh diri dan mengira dirinya telah meninggal!”
“Kalau Belle?”
“Seorang gadis yang jatuh cinta pada hewan buas!”
“Kalau Dewi Venus.... bagaimana dengannya?”
“Tidak jauh berbeda dengan Dewi Aprodite!”
“Kalau... Putri Duyung?”
“Dia adalah gadis setengah ikan yang mengorbankan
suaranya yang indah untuk mendapatkan sepasang kaki, agar dia bisa menemui pangeran
yang dicintainya, tapi sayangnya cintanya ditolak, karena pangeran itu sudah
memiliki orang lain yang dicintainya... lalu karena depresi dia melakukan bunuh
diri dan berubah menjadi gelembung!”
“Dewi Athena!”
“Bukankah dia adalah dewi keperawaan?”
Bu Kartina sangat kesal dengan para muridnya. Kenapa
para muridnya selalu bisa mengungkapkan kejelekan dari wanita-wanita cantik
yang dia sebutkan?
“Wanita tua sepertimu tidak pantas disandingkan dengan
wanita-wanita cantik yang kau sebutkan tadi!”
“Apa kau mengatakan sesuatu, Ren?!”
“Tidak ada!”
Sepertinya Ren telah menggali kuburannya sendiri,
seharusnya dia tidak mengatakan hal itu. Sekarang nyawanya malah berada di
ujung tali, hanya karena satu kalimat panjangnya.
Bu Kartina berjalan mendekati Ren sambil tersenyum,
tapi Ren sama sekali tidak merasa senang saat melihat senyuman itu, karena dia
dapat melihat tengkorak-tengkorak yang melayang-layang di belakang Bu Kartina
saat dia sedang berjalan mendekati Ren.
“Aku sama sekali tidak tua... umurku baru 29 tahun,
lebih beberapa puluh bulan... apa kau mengerti, Ren!”
Ren segera menganggukan kepalanya dengan kencang. Dia
sangat ketakutan dengan cambuk yang sedang diayunkan sembarangan oleh wanita
tua itu.
“Aku mengerti... Bu Kartina yang cantik, masih berumur
29 tahun, lebih 753 hari... Apakah Aku benar?”
Bu Kartina tersenyum puas, lalu menganggukan
kepalanya. Ren sempat menghela nafas lega, tapi beberapa detik setelah itu, Ren
malah harus dengan susah payah menghindari setiap cambukan dari wanita tua itu.
Kenapa tiba-tiba Nenek Sihir itu mengayunkan cambuknya? Pertanyaan Ren segera
terjawab beberapa detik setelah Ren memikirkan pertanyaan itu oleh orang yang
bersangkutan.
“Umurku masih lebih muda 3 hari dari umur yang kau
sebutkan itu!?”
Ren dan kawan-kawan menatap guru mereka itu dengan
pandangan yang mengasihani. Guru mereka itu baru saja mengungkapkan umurnya
yang sesungguhnya.
“Jadi umur Ibu adalah 31 tahun, lebih 20 hari...
kenapa Ibu tidak bilang, kalau 20 hari yang lalu Ibu sedang berulang tahun?”
“Tu-tunggu dulu, Ren... dari mana kau tahu soal itu?”
“““Bukankah tadi kau sendiri yang mengatakannya!?”””
Bu Kartika sudah mulai membenci hari ulang tahunnya
sejak 2 tahun yang lalu, alasannya mudah, karena umurnya semakin bertambah,
tapi peruntungannya dengan masalah percintaan sama sekali tidak bertambah.
Kalau bisa, dia ingin menghentikan waktu sampai dia menemukan seseorang yang
mau menghabiskan sisa waktu bersamanya.
“Ren, kalau Aku tidak menikah saat umurku 33 tahun,
maka kau harus bertanggung jawab atas semua perbuatanmu padaku!”
“Tunggu dulu! Kenapa Aku harus yang bertanggung
jawab?! Dan lagi, memangnya apa yang kulakukan padamu!?”
“Jangan berpura-pura tidak tahu! Kau pasti adalah
orang yang menyebarkan isu kalau Aku menjalani hubungan dengan seorang muridku
yang bertampang paling menyeramkan, benar bukan?! Kau pasti melakukan itu agar
tidak ada seorangpun pria yang mau mendekatiku!”
“Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu! Kau
sebaiknya keluar dari dunia khayalanmu, Aku tidak mungkin menyebarkan fitnah
seperti itu... kalau Aku ingin kau tidak didekati oleh pria lain, Aku pasti
akan menyebarkan semua hal tentang keburukanmu; seperti tua, galak, suka
seenaknya, selalu ingin dibilang cantik padahal tidak, selalu main kasar,
lalu...”
“Ren! Kalau kau tidak berhenti bicara, maka Aku akan
membuatmu tidak bisa berbicara seumur hidupmu!”
Ren langsung mengunci rapat mulutnya, begitu dia
mendengar ancaman itu. Dia yakin kalau wanita tua itu serius dengan ancamannya.
Ren tidak tahu apa yang akan dia lakukan untuk membuat Ren tidak dapat
berbicara seumur hidupnya, tapi Ren tahu kalau itu bukan sesuatu yang bagus
untuk dilakukan oleh seorang guru.
Teman sekelas Ren yang lain juga segera menutup rapat
mulut mereka, sebelum mereka menerima ancaman menakutkan dari wanita berumur 31
tahun, 20 hari itu.
“Baiklah, kita kembali ke pelajaran kita... kalian
masih harus membuat puisi, tapi kalian bisa memilih tema yang kalian sukai... lalu
Aku akan memilih beberapa orang dari kalian secara acak untuk membacakan puisi
buatan kalian!”
Bu Kartina mengatakan itu sambil berjalan menjauhi
tempat duduk Ren. Ren menghela nafas lega saat dirinya sudah terbebas dari
cengkraman si Nenek Sihir itu.
“Ren, Aku merasa kalau guru itu jauh lebih menakutkan
dari diriku!”
“Itu bukan perasaanmu, tapi dia memang jauh lebih
menakutkan darimu... tapi Aku berharap kalau kau tidak akan mencoba membuat
dirimu lebih menakutkan darinya!”
“Memangnya kenapa?”
“Karena kalau kau bisa lebih menakutkan darinya, maka kau
sudah bukan manusia lagi!”
Ren sangat serius dengan yang dia katakan tadi.
Siapapun yang lebih menakutkan dari Nenek Sihir yang ada di depan kelasnya itu,
maka dia sudah tidak bisa dikategorikan sebagai manusia lagi, seperti salah
satu guru yang Ren kenal.
“Lalu apakah ada orang yang lebih menakutkan darinya?”
“Kau pasti akan menemuinya sebentar lagi... kau hanya
perlu sedikit bersabar!”
Setelah mengatakan itu, Ren mencoba fokus pada buku
catatannya. Apa yang harus dia tulis untuk membuat puisi yang tidak akan
menyebabkan seorang Nenek Sihir marah? Jujur saja, Ren sangat sulit menemukan kata-kata
yang tidak akan menyinggung si Nenek Sihir.
Ren kemudian melihat ke seisi kelas. Teman sekelasnya
yang lain secara tak terguda sedang sangat serius mengerjakan tugas mereka.
Sepertinya mereka semua telah dibuat ketakutan oleh si Nenek Sihir, makanya
mereka dengan patuh mengerjakan tugas mereka. Meskipun sebenarnya Ren ragu
kalau isi puisi yang sedang mereka tulis benar-benar puisi yang normal. Ren
sangat yakin kalau teman sekelasnya pasti menulis sesuatu yang sangat aneh,
sama seperti kelakukan mereka sehari-hari.
Ren kembali melihat ke buku catatannya. Dia masih
bingung bagaimana caranya dia mengatasi masalah ini. Apakah sebaiknya dia
mencontek puisi karya salah satu temannya, lalu menganti beberapa kata dari
puisinya? Atau dia akan bertingkah seperti murid baik dan mengerjakan tugasnya
dengan benar? Ren sekarang mengalami dilema di dalam pikirannya. Kalau dia
mencontek, maka ada kemungkinan kalau dia akan menjadi bahan amukan bagi si
Nenek Sihir; tapi kalau dia mengerjakannya dengan jujur, maka itu tidak sesuai
dengan penampilannya yang sangat mirip dengan berandalan.
“Kalau kalian tidak selesai juga dalam waktu 10 menit
lagi, Aku akan memberikan sebuah hukuman yang tidak akan terlupakan oleh
kalian!”
Setelah mendengar pengumuman yang diberikan oleh si
Nenek Sihir, Ren dengan cepat mengambil pulpennya dan menuliskan sesuatu pada
buku catatannya. Tidak hanya Ren yang nampak terburu-buru, teman sekelasnya
yang lain juga nampak sama terburu-buru dengan Ren. Mereka terburu-buru, karena
mereka tahu kalau guru mereka itu sangat serius saat dia mengatakan kalau dia
akan menghukum mereka dengan hukuman yang tidak dapat mereka lupakan. Mereka
yakin kalau hukuman itu pasti jauh lebih mengerikan dari semua hukuman yang
pernah guru itu berikan pada mereka.
“Semuanya angkat tangan kalian dan taruh pulpen kalian
di samping buku catatan, waktu kalian telah habis!”
“““Heee‼ Apa kau ingin membunuh kami!?”””
“Bukan itu maksudku saat Aku mengatakan angkat tangan
kalian dan waktu kalian sudah habis, maksudku kalian sudah tidak bisa
mengerjakan tugas kalian lagi!”
Bu Kartina memijat keningnya yang terasa pusing.
Kenapa anak muridnya selalu saja mengaitkan dirinya dengan sesuatu yang
berbahaya dan menakutkan, padahal dia sudah bersikap baik pada mereka? (Apa
maksudnya dengan bersikap baik, bukankah kau selalu saja mengancam dan menyiksa
para muridmu sendiri. -_-‘)
“Hei, Nenek Sihir!”
“Berhenti memanggilku Nenek Sihir!”
Bu Kartina juga dipusingkan dengan anak muridnya yang
sering sekali memanggilnya dengan sebutan Nenek Sihir, dia juga sering
mendengar anak muridnya di kelas F memanggil guru-guru lainnya dengan nama
panggilan. Apakah itu cara mereka untuk bisa akrab dengan guru mereka atau itu
cara mereka untuk menghina guru-guru mereka?
“Sebelum kalian membacakan puisi kalian, Aku ingin
menyanyakan satu hal yang sangat penting pada kalian... kenapa kalian selalu
saja memanggilku dengan sebutan Nenek Sihir? Memangnya bagian mana dari diriku
yang mirip dengan Nenek Sihir?”
“Itu karena Bu guru mirip dengan nenek sihir yang
tidak pernah menikah, meskipun umurnya sudah tua!”
Jawaban jujur Ren benar-benar menohok hati Bu Kartina.
Jadi itu alasan mereka memanggilnya Nenek Sihir. Dia harus akui jika dia memang
belum menikah, meskipun dia sudah menginjak umur 30 tahun lebih, tapi itu bukan
berarti dia tidak akan pernah menikah seperti Nenek Sihir yang disebutkan Ren
tadi.
“Ren, asal kau tahu saja... Aku pasti akan menikah!
Kalau Aku tidak menikah juga pada hari kelulusanmu, maka Aku akan memaksamu
untuk melewati garis batas guru dan murid!”
“Tunggu dulu! Maksudmu kau akan memaksaku untuk
menikahimu! Bukankah itu terlarang, cinta antara guru dan murid?!”
“Sekarang adalah zaman modern, jadi cinta antara murid
dan guru bukan lagi sesuatu yang terlarang!”
“Tapi tetap saja Aku tidak ingin melewati garis batas
itu! Aku masih ingin terus hidup bebas seperti seekor burung yang terbang di
langit!”
“Bagaimana jika kau menjadi burung, sedangkan Aku
menjadi pemburunya? Kurasa kita akan menjadi pasangan yang serasi!”
“Sama sekali tidak! Burung hanya akan mengalami
penderitaan, jika dia dipasangkan dengan pemburunya!”
“Tapi Ren...”
“SUDAHLAH BU GURU... BISAKAH BU GURU MEMBIARKAN REN
MENENTUKAN SENDIRI SIAPA YANG AKAN DINIKAHINYA NANTI!!??... kalau bisa biarkan
dia menikahi seorang gadis berambut pirang dan bermata biru!”
Karena sudah tak tahan dengan Bu Kartina, Grace
langsung membentaknya. Dia tidak suka jika ada orang lain yang memaksa Ren
untuk menikahi orang lain, selain dirinya. Tentu saja Grace tidak lupa untuk
menambahkan kiteria orang yang bisa dinikahi Ren dengan suara pelan di akhir
kalimatnya.
“Baiklah, kita mulai saja pembacaan puisinya... Ibu
akan memilih 5 orang secara acak di antara kalian untuk membacakan hasil kerja
kalian!... kurasa kita akan mulai dengan si murid baru, Putri Scarlet!”
“Baik!”
Putri dengan cepat berjalan menuju ke depan kelas,
lalu membacakan puisi hasil tulisannya dengan suara yang sangat enak didengar.
Tentu saja puisinya dipersembahkan untuk sang Iblis tercinta, Ren Setiawan.
Iblis
Dia
adalah sang Iblis
Dialah yang paling menakutkan
Tidak ada yang berani padanya
Lebih kuat dari siapapun
Wajahnya
seperti Iblis
Suaranya sangat menakutkan
Sifat jahat ada padanya
Lebih jahat dari siapapun
Dialah
Ren Setiawan
Dialah yang terjahat
Juga paling licik
Dan paling kejam
“Oi, tunggu dulu! Bukankah bait terakhirnya
benar-benar menceritakanku secara langsung!?”
“Tidak, bukan hanya bait terakhirnya, tapi semua isi
puisi ini memang menceritakan tentangmu... asal kau tahu saja Ren, Aku membuat
puisi ini sambil memikirkanmu dalam kepalaku!”
“Itu sama sekali bukanlah diriku... asal kau tahu,
masih ada orang yang lebih menakutkan dariku di sini; contohnya adalah orang
yang sedang berdiri di dekatmu itu!”
“Siapa yang kau maksudkan, Ren!”
“Tidak ada! Mari kita lanjutan ke orang selanjutnya!”
Setelah memperlihatkan senyuman menakutkan pada Ren,
Bu Kartina kembali fokus pada kertas nilai di tangannya. Menurutnya puisi itu
sangat bagus, karena puisi itu menceritakan tentang realita seseorang, jadi dia
akan memberikannya nilai tinggi.
“Baiklah... karena kau tadi protes, maka kau akan
membaca puisimu paling akhir!”
“Tunggu dulu! Bukankah seharusnya kau mengatakan kalau
Aku yang harus membacakan puisiku selanjutnya!”
“Jadi kau ingin membaca puisimu sekarang, kalau begitu
silahkan!”
“Tidak, Aku terakhir saja!”
Ren kembali duduk di kursinya setelah melancarkan
protes yang tidak perlu. Sepertinya dia sebaiknya tidak mengatakan apapun lagi
setelah ini, dia bersumpah tidak akan membuka mulutnya untuk melancarkan protes
yang tidak perlu lagi.
“Baiklah... selanjutnya adalah Alian, silahkan kau
maju dan baca puisimu!”
Setelah itu, Alian dengan sigap berdiri dari
bangkunya, lalu berjalan ke depan kelas. Dia terlihat sedang menunggu-nunggu
saat ini. Sedangkan Ren yang melihat kelakuan Alian itu hanya bisa menatapnya
dengan curiga. Si Alien itu pasti menulis sesuatu yang akan membuatnya marah.
Ren sangat curiga akan hal tersebut.
“Baiklah, semuanya... tolong dengarkan puisiku ini baik-baik!”
Raja
Iblis
Dialah
sang raja Iblis
Orang terjahat di dunia
Juga yang paling dibenci
Dialah Iblis sejati
Kita
harus membasminya
Dan melenyapkannya selamanya
Dari hadapan kita semua
Ayo kita lakukan bersama
Iblis
itu ada di antara kita
Namanya Ren Setiawan
Dialah Iblis terburuk
Semua orang hancurkan dia
“Apa kau ingin berkelahi denganku, Alien sialan!?”
(Ren, kau melanggar sumpahmu).
“Itu memang mauku, Iblis sialan!” (Sepertinya Alian
masih dendam pada Ren dengan apa yang dia alami di lapangan tadi)
“Sudahlah kalian berdua! Kalau kalian berdua ingin
berkelahi, maka Aku bisa menjadi lawan kalian!”
““Kau diam saja, Nenek Sihir Tua Sialan!””
“Sepertinya kalian benar-benar ingin diberi pelajaran
spesial olehku!”
Bu Kartina telah mengeluarkan auranya yang sangat
menakutkan. Ren dan Alian jadi menyesali perkataan mereka tadi, seharusnya
mereka tidak lepas kendali, hanya karena beberapa kata dari orang menyebalkan
itu. Sekarang mereka ada diambang kematian.
“Ma-maaf... Aku tadi tidak sengaja me-mengatakan itu!”
“Y-ya... ini semua adalah kesalahannya... Aku sama
sekali tidak berniat mengatakan itu!”
“Oi, Alien sialan! Kenapa kau malah menyalahkanku,
bukankah ini semua adalah kesalahanmu!”
“Tidak! Ini jelas adalah kesalahanmu! Kalau kau tidak
mengorbankanku pada ketiga gadis itu, maka hal ini tidak akan terjadi!”
“Itu semua kulakukan untuk kemenangan tim kita!”
“Bohong! Kau jelas sekali sedang berbohong! Kau
melakukan itu untuk keselamatan dirimu sendiri!”
“Diamlah! Aku adalah orang yang bisa mengorbankan
apapun untuk keselamatan diriku sendiri! Jadi bagiku itu adalah pengorbanan
kecil yang bahkan tidak pantas disebut sebagai pengorbanan!”
“Itu mungkin pengorbanan kecil bagimu, tapi itu adalah
pengorbanan yang besar bagiku! Apa kau tidak tahu betapa menakutkannya mereka
bertiga waktu itu!”
“Lalu apakah kalian berdua ingin tahu betapa
menakutkannya diriku saat Aku menghukum kalian nanti?!”
Tubuh Ren dan Alian langsung mematung. Karena mereka
terlalu fokus pada pertengkaran mereka, mereka jadi melupakan seseorang yang
seharusnya tidak boleh mereka lupakan. Mereka dengan ketakutan melihat ke arah orang
itu. Orang itu saat ini tengah tersenyum dengan tengkorak sebagai latar
belakangnya.
“Apakah kalian masih ingin bertengkar di depanku?”
Mereka berdua dengan kompak menggelengkan kepala
mereka. Mereka jelas tidak ingin melakukan pertengkaran yang tidak berguna di
saat mereka berada dalam keadaan berbahaya seperti ini.
“Kalau begitu... sebagai permintaan maaf kalian, salah
satu dari kalian harus menikahiku saat kalian sudah lulus nanti!” (Mencari
kesempatan dalam penderitaan orang lain)
““Aku menyerahkan dirinya!””
Ren dan Alian dengan kompak mengatakan hal yang sama
sambil menunjuk pada satu sama lain di saat yang sama pula. Mereka benar-benar
kompak di saat-saat yang aneh.
“Hei, Iblis! Kenapa tidak kau saja yang mengorbankan
dirimu, sebagai ganti karena tadi kau telah mengorbankan diriku!?”
“Kenapa Aku harus melakukan itu!? Karena kau sudah
mengetahui rasanya dikorbankan, kenapa tidak kau saja yang melakukan pengorbanan
lain di sini!?”
“Apa kau pikir Aku mau menikahinya!?”
“Lalu apakah kau berpikir Aku mau melakukan hal
semacam itu!?”
“Sudah cukup kalian berdua! Kalian berdua lebih baik
duduk saja di kursi kalian masing-masing!”
Hati Bu Kartina benar-benar sakit saat dia mendengar
penolakan dari kedua muridnya itu. Kenapa tidak ada orang yang mau menikahinya?
Padahal dia yakin kalau penampilannya memang sangat cantik. (Penampilan memang
boleh cantik, tapi kalau sikapmu tetap buruk, mana ada lelaki yang mau
mendekatimu!)
Ren dan Alian dengan mata saling melotot satu sama
lain kembali duduk di kursi mereka masing-masing. Mereka benar-benar dibuat
kesal hari ini. Kenapa mereka harus mengorbankan diri mereka sendiri demi
keselamatan orang lain yang bahkan tidak peduli dengan keselematan mereka?
“Baiklah... selanjutnya adalah Liliana... kuharap dia
lebih normal dari yang sebelumnya!”
Bu Kartina mengatakan itu sambil mendesah dan menandai
nilai Alian dengan poin rendah. Setelah kekacauan yang dia sebabkan dan juga
karena dia telah melukai hatinya, Alian tidaklah pantas mendapatkan nilai
tinggi, begitu juga dengan Ren.
Liliana dengan malu-malu mulai berjalan ke depan
kelas. Kalau boleh jujur dia sama sekali tidak siap untuk membacakan puisinya
di depan teman-teman sekelasnya, karena puisi yang dibuatnya sangatlah
memalukan baginya.
Setelah menghela nafas beberapa kali dan menenangkan detak
jantungnya, Liliana mulai membacakan puisi yang telah dia buat.
Kekasih
sejati
Matanya
sangat menawan
Dan juga sangat tajam
Dia bisa memenjarakanmu
Hanya karena tatapannya (Sambil melihat ke arah mata Ren)
Auranya
sangat kuat
Lebih kuat dari siapapun
Seakan tak tertandingi
Bahkan oleh yang terkuat (Sambil melihat ke tubuh Ren)
Tubuhnya
juga sangat kokoh
Bahkan lebih kokoh dari tembok besar
Yang bisa menahan ribuan badai
Dan juga melindungi semua orang (Jatuh pingsan)
“Oi, Liliana! Kenapa kau
pingsan?!”
Bu Kartika langsung menangkap tubuh Liliana yang jatuh
pingsan, tepat setelah dia selesai membacakan puisinya. Bu Kartika sangat
bingung, kenapa dia bisa jatuh pingsan setelah dia membacakan puisi yang dia
buat sendiri? Apakah ada sesuatu yang lain, selain puisinya yang membuat dia
pingsan? Bu Kartika kemudian melihat seisi kelas untuk mencari sesuatu yang
bisa membuat Liliana jatuh pingsan, lalu dia akhirnya menemukan benda tersebut.
“Ren, kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!”
“Memangnya apa yang Aku lakukan sampai Aku harus
bertanggung jawab!?”
“Tentu saja ini karena wajah menakutkanmu... dia pasti
pingsan, karena dia melihat wajahmu yang sangat menakutkan itu!”
“Apa maksudmu Aku yang salah di sini!?”
“Memangnya siapa lagi yang bisa disalahkan, selain
dirimu di sini!”
Ren sangat tidak bisa menerima hal itu. Dia sama
sekali tidak bisa menerima perlakuan tidak adil ini. Meskipun wajahnya sangat
menakutkan, tapi hatinya sebenarnya jauh lebih menakutkan dari wajahnya. (Ren,
sepertinya kau telah menyadari keburukan dirimu sendiri).
“Asal kau tahu saja, masih ada yang lebih menakutkan
dari pada wajahku, yaitu hatiku! Apakah kau ingin tahu seberapa menakutkannya
hatiku?!”
“““Tidak, tolong jangan menunjukan sesuatu seperti
itu!”””
Semua teman sekelas Ren tahu, kalau Ren sampai
menunjukan sifat menakutkannya yang sebenarnya, maka yang akan menjadi
tumbalnya adalah mereka. Jadi mereka sudah dipastikan akan mencoba mencegah hal
itu terjadi.
“Kurasa tidak ada gunanya Aku menyalahkanmu dan wajah
menakutkanmu... siapapun, tolong bawa Liliana ke UKS!”
Setelah itu Grace, Aliska, dan Putri berdiri dari
kursi mereka masing-masing. Lalu mereka membawa tubuh Liliana ke ruang
kesehatan. Mereka tidak bisa menyalahkan Liliana, jika dia pingsan karena
melihat wajah Ren yang menakutkan. Bagaimanapun wajah Ren memang terlalu
menakutkan untuk dilihat lama-lama.
“Baiklah... kita tetap akan melanjutkannya, kalau
begitu Raya... silahkan maju ke depan dan baca puisimu... Ibu lihat kau sangat
bersemangat sejak tadi!”
“Fire!”
Raya segera berdiri dan langsung berlari ke depan
kelas. Bu Kartina sudah mengenal Raya sejak dia masih kecil, waktu itu Raya
terlihat sangat lucu dan menggemaskan, karena sifatnya yang selalu bersemangat.
Tapi saat melihatnya yang sudah besar seperti ini, Bu Kartina entah mengapa
merasa gerah sendiri.
“Baiklah teman-teman... tolong kalian dengarkan puisi
buatanku ini!”
Tidak ada yang menyahut, mereka semua tampak sangat
kelelahan saat melihat semangatnya yang sangat membara. Mereka merasa iri pada
para gadis yang sedang membawa Liliana yang pingsan ke ruang kesehatan, karena
mereka bisa terbebas dari mendengarkan isi puisinya yang pasti berisi
kalimat-kalimat yang ada kata semangat di dalamnya.
Semangat
Semangat
adalah hatiku
Semangat adalah matahariku
Semangat adalah tenagaku
Semangat adalah tubuhku
Ayo
kita semangat
Semangat saat bermain
Semangat saat berjuang
Semangat saat berlatih
Semua
orang bersemangat
Akupun ikut bersemangat
Tiada hari tanpa semangat
Fire! Fire! Fire! Fire!
Tidak seorangpun yang berkomentar. Mereka semua nampak
malas menanggapi puisi penuh kata semangat dari Raya.
“Baiklah... orang terakhir, Ren! Silahkan kau bacakan
puisimu!”
“Tunggu dulu! Fire!... Kenapa kalian tidak menanggapi
puisi penuh semangatku!? Fire!”
“Ren, cepat maju ke depan kelas dan bacakan puisimu!”
Bu Kartina mengabaikan protesan penuh semangat dari
Raya. Dia langsung memberikan nilai pada puisi membosankan itu. Tidak perlu
ditanyakan lagi, nilai yang diberikannya sudah dipastikan kecil. Sudah tidak
memiliki banyak makna, ditambah lagi mudah ditebak, tidak akan ada lagi yang
lebih membosankan dari itu, jadi sudah wajar jika Raya hanya mendapatkan nilai
kecil.
Ren kemudian berjalan dengan malas ke depan kelas,
sementara Raya kembali ke mejanya dengan api yang masih menyala di tubuhnya.
Meskipun puisinya tidak mendapatkan tanggapan apapun dari teman sekelasnya, itu
bukan berarti dia harus memadamkan api semangat dalam jiwa dan tubuhnya.
Ren masih dengan tampang malas berdiri di depan kelas.
Dia sangat malas membacakan puisi yang tadi dia buat. Kenapa juga dia harus
membaca puisi yang jelas-jelas hanya akan mendapatkan nilai kecil dari guru
wanita tua yang masih belum menikah itu. Dia pasti hanya akan mendapatkan
bencana dari puisi yang akan dia bacakan ini. Belum lagi para gadis yang tadi
membawa Liliana yang pingsan ke UKS telah kembali lagi ke kelas, mereka pasti
akan meledek puisinya, setidaknya salah satu dari mereka sudah dipastikan akan
melakukan hal tersebut.
“Apa Aku harus membaca ini?”
“Jika kau masih ingin bernafas dengan hidung dan
paru-parumu, maka kau memang harus melakukannya!”
Itu adalah kata-kata yang paling menakutkan yang
dikatakan oleh seorang guru. Kenapa ada guru yang bisa mengatakan itu pada
muridnya sendiri? Ren merasa kalau dirinya benar-benar telah masuk ke sekolah
yang salah.
Bencana
Bencana
adalah kehidupanku
Tiada hari tanpa bencana
Terutama jika di sekolah
Sekolah adalah tempatnya bencana
Bencana
selalu ada di dekatku
Mereka datang dari mana-mana
Dari teman sekelasku
Bahkan juga dari keluargaku
Mungkin
Aku memang sial
Mungkin memang inilah takdirku
Tapi Aku tidak sendirian
Karena Aku akan membagikannya
“Aku akan membagikan semua bencana yang Aku alami pada
kalian! Aku akan membuat kalian semua merasakan apa yang telah Aku rasakan
selama ini! Aku akan membuat hidup kalian semua menderita!”
“““Bukankah perkataan terakhirmu itu hanyalah berisi penderitaan
dan ancamanmu yang menakutkan!”””
Semua teman sekelas Ren tidak habis pikir. Kenapa Ren
bisa mencampurkan perasaan pribadinya dengan puisinya? Kalau dia ingin
menderita, maka menderita saja sendirian, jangan ajak-ajak orang lain!
Mereka sebenarnya tidak bisa banyak protes, karena
mereka juga sering mencampurkan perasaan pribadi mereka pada sesuatu yang
mereka buat; contohnya adalah puisi yang telah mereka buat saat ini. Sebetulnya
mereka semua mencampurkan perasaan pribadi mereka saat mereka menulis puisi
mereka. Meskipun begitu, mereka sama sekali tidak merasa salah, karena
mencampurkan isi puisi dengan perasaan pribadi mereka sendiri adalah hal yang
sangat wajar saat membuat puisi. Tapi berbeda dengan puisi yang mereka buat, puisi
yang dibuat Ren terlalu mencampurkan perasaan pribadinya yang sangat
menakutkan.
“Kalau kau ingin membalas dendam, maka kau bisa
melakukannya pada wanita di sampingmu!”
“Benar sekali, dia adalah orang yang paling sering
membuat kita menderita dengan tingkah dan juga tugas-tugas darinya!”
“Itu benar, dia memang lebih baik dilenyapkan dari
muka bumi ini... Aku yakin kalau itu Ren, maka kau pasti bisa melakukannya!”
“Sepertinya
ada orang yang ingin merasakan neraka dunia!”
Semua orang, termasuk Ren, langsung merinding saat
mereka mendengar suara yang sangat berat dan menakutkan itu. Mereka bahkan bisa
melihat secara jelas aura hitam yang keluar dari orang yang mengatakan
kata-kata itu. Dia pasti serius dengan kata-katanya.
Ren segera duduk di bangkunya, bahkan sebelum Bu
Kartina memberikan izin padanya untuk duduk. Dia sangat tidak ingin berada di
dekat orang yang menakutkan itu lama-lama, karena dia bisa saja menjadi orang
yang pertama kali terkena amukannya. Sudah jelas Ren tidak ingin mengambil
posisi itu, meskipun dia dibayar dengan harga yang sangat mahal sekalipun.
Karena sudah lelah dengan tingkah para muridnya, Bu
Kartina tidak melanjutkan topik itu lebih jauh, dia akan membiarkan mereka
lolos untuk kali ini. Setelah memberikan nilai yang sangat rendah pada Ren, Bu
Kartina langsung keluar dari kelasnya dan mencari obat sakit kepalanya.
Kepalanya benar-benar terasa sakit karena kelakuan para muridnya yang tidak
pernah berubah, sejak mereka masuk ke sekolah ini. Apakah mereka memang tidak
ada hal di dunia yang dapat merubah kelakukan mereka?
Ren dan kawan-kawan langsung bersorak begitu mereka
melihat Bu Kartina meninggalkan ruang kelas. Mereka senang karena akhirnya
mereka terbebas dari cengkraman guru mereka yang sangat menakutkan itu.
“““HORE‼!””” (Teriak Ren dan kawan-kawan)
“Diamlaaaah‼” (Teriak seseorang yang mirip dengan
Gorila)
Mereka semua langsung terkejut dan melihat ke arah
orang yang baru saja berteriak pada mereka. Di sana mereka dapat melihat orang
yang memiliki badan yang sangat besar dan juga memiliki bulu yang sanga banyak
di wajahnya. Sebenarnya tidak hanya di wajahnya yang ditumbuhi oleh bulu-bulu
lebat, tapi karena pakaian yang dikenakannya saat ini menutupi tubuhnya, maka
hanya bulu bagian wajahnya saja yang terlihat, sedangkan bulu-bulu lebatnya
yang lain ditutupi oleh kain pakaiannya. Orang itu benar-benar mirip dengan gorila.
“Pak Gorila! Kenapa kau bisa ada di sini!?”
“Berhenti memanggil orang dengan sebutannya!... Aku
adalah guru di sini, jadi wajar saja jika Aku datang ke kelas ini!”
Maman Pribumi adalah nama dari guru yang mirip gorila
itu, hampir semua orang memanggilnya Pak Gorila, karena dia memang hanya
sebelas dua belas dengan gorila, bahkan beberapa siswa kesusahan dalam
membedakannya dengan gorila sungguhan, tentu saja kelas F adalah yang paling
susah membedakan guru itu dengan gorila.
“Kenapa kalian selalu saja memanggil orang lain dengan
nama-nama aneh? Memangnya kalian tidak bisa bicara dengan lebih sopan?”
Pak Maman mengaruk kepalanya yang memang sangat gatal.
Kepalanya selalu saja gatal saat dirinya masuk ke kelas ini, Pak Maman yakin
ini disebabkan oleh Ren dan kawan-kawannya. (Padahal dia sendiri yang jarang
keramas, tapi dia malah menyalahkan orang lain).
“Lalu kenapa kau datang ke sini, Pak Gorila?”
“Sudah kukatakan untuk kita memanggil orang lain
dengan nama sebutan! Apakah kalian tidak bisa menggunakan mulut kalian dengan
benar?!”
“Tentu saja kami bisa... buktinya Aku bisa mengunyah
makanan anjing dengan sangat mudah!”
“““Hanya kau saja yang bisa melakukan hal menjijikan
seperti itu, Bocah Anjing!”””
“Itu sama sekali tidak benar! Sebelum Aku, sudah ada
banyak orang yang memiliki profesi sebagai penyicip makanan anjing!”
Bran menatap tidak terima pada teman-teman sekelasnya.
Dia tidak suka saat mereka berkata kalau apa yang dia lakukan sangatlah
menjijikan dan tidak ada orang yang mau melakukan hal itu di dunia ini selain
dirinya. (Padahal memang hanya dia saja yang bisa menjadikan makanan anjing
sebagai makanan pokoknya di dunia ini).
“Orang-orang itu biasanya hanya memakan makanan anjing
saat mereka berkerja, mereka tidak benar-benar membuat makanan anjing sebagai
makanan pokok mereka!”
“Kalau begitu mereka masih kurang profesional
dibandingkan dengan diriku, karena Aku tak hanya menjadikan makanan anjing
sebagai sumber pendapatanku, tapi Aku juga telah membuatnya menjadi makanan
sehari-hariku!”
Pasti ada yang salah dengan otak Bocah Anjing itu. Ren
dan kawan-kawan telah meyakini hal itu jauh di dalam hati mereka. Mereka juga
yakin kalau tidak ada orang yang akan bisa memperbaiki otaknya.
“Sudah lupakan masalah makanan anjing itu... Aku
datang ke sini karena Aku akan memberikan tugas pada kalian!”
“Tugas? Tugas apa, Pak Gorila?”
“Aku akan mengabaikan panggilan itu untuk saat ini...
karena Pak Deni hari ini telat datang ke sekolah, maka dia telah memberitahuku,
kalau kalian harus mengerjakan tugas yang Aku berikan selama kalian menunggu
kedatangannya... kalian tidak boleh keluar dari kelas ataupun berherti
mengerjakan tugas kalian, sampai Pak Deni datang ke kelas ini! Apa kalian
mengerti!?”
“Tapi sebentar lagi adalah jam istirahat kita, apakah
Pak Gorila tetap akan menyuruh kami mengerjakan tugas itu selama waktu
istirahat kita?”
“Apakah kalian tetap akan beristirahat, meskipun di
cuaca seperti ini?”
Mereka semua kemudian melihat ke arah jendela, di luar
sana masih hujan deras. Orang normal manapun pasti tidak akan mau keluar rumah,
kalau dengan cuaca seburuk itu.
“““Sama sekali tidak masalah!”””
Tapi karena siswa-siswi di kelas F bukanlah orang
normal, maka mereka tidak terlalu bermasalah dengan cuaca seperti itu, selama
mereka bisa menghindar dari tugas yang sangat merepotkan.
“Kalian benar-benar siswa yang aneh!”
‘‘‘Kau juga guru yang aneh!’’’
Untung saja Pak Maman tidak dapat mendengar isi
pikiran Ren dan kawan-kawan, kalau saja dia bisa, maka Ren dan kawan-kawan akan
langsung dibabat habis oleh manusia gorila itu.
“Tidak ada pengecualian! Kalian semua harus
mengerjakan tugas yang kuberikan sampai Pak Deni sampai di kelas ini!”
Setelah selesai mengatakan itu, Pak Maman kemudian mengeluarkan
buku-buku soal yang sangat tebal dan juga berat.
“““Dari mana asal buku-buku itu!?”””
Padahal beberapa detik lalu, Pak Maman tidak nampak
membawa buku satupun, tapi kenapa tiba-tiba sekarang sudah ada tumpukan buku di
depan kelas? Ren dan kawan-kawan baru saja meresa sudah melihat keajaiban dunia
kedelapan.
“Kalian semua akan mendapatkan masing-masing satu
buku... kalian harus mengerjakan semua soal di buku itu sampai Pak Deni masuk
ke kelas ini... dan juga, kalian dilarang keluar dari kelas, kalau sampai ada
yang keluar dari kelas, maka dia tidak
akan pernah bisa melihat hari esok lagi!”
Ren dan kawan-kawan tahu kalau guru itu sangat serius,
bahkan lebih serius dari Bu Kartina. Mereka benar-benar tidak akan pernah bisa
melihat hari esok lagi, jika mereka berani keluar dari kelas mereka.
Sebelumnya | ToC | Selanjutnya