Bonus Story : Misteri Menara Tanpa Nama

 Bertemu para dewan.

 

Cerita ini memmiliki Spoiler untuk ending dari Novel berjudul Misteri Menara Tanpa Nama, jadi bagi yang belum menyelesaikannya, silahkan selesaikan novelnya terlebih dahulu.

Jika sudah, maka selamat menikmati!

Enjoy!



Setelah diriku sampai di Desa Tanpa Nama, Chris langsung menyuruhku untuk pergi mengikutinya, meninggalkan teman-temanku yang lain. Mereka semua nampaknya akan berkeliling Desa untuk memeriksa keadaan. Kurasa Aku bisa menyerahkan tugas itu pada mereka.

Chris kemudian membawaku ke sebuah gedung yang sangat besar dan memiliki penampilan yang mewah. Tak perlu ditanya lagi, gedung itu pasti adalah gedung tempat para Dewan berkumpul. Tempat paling penting yang ada di Desa ini.

Tanpa ragu, Chris langsung masuk ke dalam gedung tersebut. Aku segera mengikutinya masuk tanpa banyak bicara. Di dalam sana, kami langsung disambut oleh orang banyak yang menundukkan kepala mereka ke arah kami, memberikan rasa hormat mereka kepada kami atau mungkin lebih tepatnya kepada kami.

“““Selamat datang, Tuan!”””

Mereka dengan kompak mengatakan hal tersebut di saat bersamaan. Aku sedikit terkejut dengan sambutan mereka, karena tak terbiasa dengan hal tersebut, tapi Aku kembali tenang dan memberikan anggukan kepada mereka sebagai balasanku.

 Aku kemudian melihat interior dari gedung tersebut. Tak mengherankan, tempat ini dihiasi oleh banyak barang mewah yang terlihat sangat mahal. Bahkan Aku bisa melihat lampu hias yang terbuat dari emas di sini. Aku juga menyadari bahwa pakaian yang dikenakan oleh para pelayan di sini terlihat sangat bagus dan berkelas. Pasti seragam mereka juga terbuat dari bahan kualitas nomor satu.

“Ikuti Aku!”

Kata Chris yang masih memimpin jalan. Aku segera memberikan anggukan padanya sebagai tanda mengerti, lalu kembali berjalan di belakangnya. Lelaki itu segera membawaku ke dalam lift, lalu tanpa ragu sedikitpun, langsung menekan tombol lantai paling atas. Lantai yang kemungkinan adalah lantai paling penting di gedung ini.

“Lewat sini!”

Chris kembali berujar, begitu kami tiba di lantai tujuan kami. Dia membawaku menuju ke sebuah pintu yang sangat besar berwarna merah yang terbuat kayu yang sangat kokoh. Chris berdiri di samping pintu itu untuk bersiap membukakan pintu tersebut untukku.

Aku memandangi Chris sejenak, sebelum akhirnya berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut seorang diri.

“Maaf, Aku tak bisa ikut denganmu!”

Aku bisa mendengar permintaan maaf Chris, sebelum lelaki itu menutup kembali pintu tersebut. Aku hanya bisa memberikan senyum kecil padanya sebagai tanda bahwa Aku tak mempermasalahkan hal tersebut. Mulai saat ini adalah pertarunganku seorang diri.

Aku meneguk ludahku, sebelum berjalan mendekati para orang tua yang sudah ada di ruangan ini entah sejak kapan. Mereka semua melihat ke arahku dengan pandangan tak tertarik, meski begitu Aku tetap saja merasa gugup oleh tatapan mereka.

Aku kemudian berjalan ke arah salah satu kursi yang masih kosong di ruangan tersebut. Kursi tersebut lebih pantas disebut sebagai singgasana saja, karena betapa indahnya kursi tersebut atau mungkin itu memang singgasana raja. Aku memperhatikan bahwa ada 10 singgasana lainnya di ruangan ini dan mereka semua sudah ditempat orang para orang tua yang ada di sini.

Aku menatap dengan bingung ke arah sekelilingku, sebelum akhirnya Aku duduk di singgasana yang ada di dekatku itu. Aku kembali menelan ludahku saat para orang tua di sekelilingku terlihat sedang meneliti penampilanku. Apakah ada yang aneh dengan penampilanku saat ini? Aku merasa bahwa apa yang kupakai saat ini adalah hal yang normal.

Aku kemudian menatap mereka satu per satu. Mereka semua mengenakan pakaian yang berbeda satu sama lain. Ada yang memakai setelah jas, ada yang mengenakan pakaian tradisional dari berbagai negara, seperti China, Jepang dan Korea selatan. Aku juga bisa melihat ada orang yang mengenakan pakaian santai. Jujur saja, Aku merasa bahwa penampilan mereka itu lebih aneh dari pada diriku.

Aku menghela napas dengan gugup, lalu mengatur kembali napasku agar diriku bisa tenang, setelah itu Aku menatap baik-baik para orang tua di sekitarku.

“Anu...”

“Apa kau adalah anggota dewan yang baru?”

Saat Aku ingin mengatakan sesuatu, seseorang di antara mereka menyela perkataanku dan melontarkan sebuah pertanyaan. Aku menganggukkan kepalaku untuk membenarkan pertanyaannya.

“Ya, Aku anggota yang baru... namaku Asraf, salam kenal.”

Aku sedikit menundukkan kepalaku saat memperkenalkan namaku.

“Begitukah.... jadi dimana si Kakek itu? Tak biasanya dia tak hadir saat ada anggota baru?”

Meskipun orang itu kembali bertanya, tapi Aku tak bisa merasakan perasaan penasaran datang darinya. Dia malah terlihat sangat bosan saat melontarkan pertanyaan itu.

“Itu...”

Aku merasa sangat gugup saat akan menjawab pertanyaan tersebut. Aku tak tahu bagaimana caraku untuk menyampaikan hal tersebut. Reaksi macam apa yang akan mereka keluarkan jika mereka mengetahui kebenarannya? Apa mereka akan marah?  Atau akankah mereka langsung menyerangku dan membunuhku sebagai bentuk balas dendam?

“Ada apa? Kenapa kau terlihat gugup?”

Salah satu dari mereka yang lain bertanya sambil membetulkan letak kacamata yang dia kenakan, hal tersebut agak mengingatkanku dengan Adrian. Aku tersenyum sedih saat mengingat tentangnya. Orang tersebut memiliki badan yang agak buncit dan kulit wajah yang mulai berkeriput.

Aku menggaruk belakang leherku, lalu menalan ludahku, sebelum akhirnya memberanikan diriku untuk menjawab pertanyaan mereka.

“Anu... sebetulnya... dia... sudah meninggal.”

Aku menutup mataku rapat-rapat saat mengatakan hal tersebut. Aku secara tak sadar merasa sangat takut dengan reaksi mereka.

“Meninggal? Apa maksudmu si Kakek itu?”

Bukannya kemarahan, Aku entah bagaimana mana malah mendapatkan reaksi bingung dari mereka. Aku dengan wajah terkejut mengangkat kepalaku dan menatap ke arah mereka.

“Eh?”

Suara yang terdengar aneh lolos dari bibirku saat Aku melihat reaksi mereka.

“Ternyata kakek itu bisa meninggal juga, ya.”

“Itu memang mengejutkanku... kupikir dia mahluk abadi.”

“Kurasa umurnya memang sudah tua....”

“Bukankah dia sudah tua sejak kita pertama kali melihatnya?”

“Entahlah.... sejujurnya Aku sudah tak ingat dengan wajahnya.”

“Eh? Benarkah?”

“Apa kau mengingat wajahnya?”

“Sejujurnya Aku tak begitu peduli dengannya.”

“Apa kau serius? Apa kau lupa dengan apa yang telah dia lakukan pada dirimu dan yang lain?”

“Hmmm? Memangnya apa yang dia lakukan? Aku hanya ingat bahwa dia memiliki aura tak menyenangkan, jadi Aku berusaha melupakannya.”

“Aku juga sependapat denganmu!”

Aku sampai tak mempercayai telingaku sendiri saat Aku mendengar percakapan mereka. Apa tak ada orang yang menyukainya sehingga tak ada satupun yang peduli dengannya di sini? Reaksi mereka sama sekali tak bisa kuduga sedikitpun.

Tapi jika dipikirkan lagi. Mereka semua seharusnya juga adalah korban dari permainan itu, sama seperti diriku, jadi kurasa wajar saja jika mereka tak menyukai si Kakek.

“Jadi bagaimana cara si Kakek itu meninggal?”

Setelah sibuk dengan diri mereka sendiri, akhirnya seorang di antara mereka kembali bertanya padaku. Kali ini orang yang bertanya adalah orang yang mengenakan pakaian tradisional China, lengkap dengan topi khas-nya. Aku tak tahu apa nama pakaian itu, tapi menurutku pakaian itu cocok untuknya.

Aku menggaruk pipiku, tak yakin harus menjawab seperti apa, tapi pada akhirnya Aku memberanikan diriku untuk menceritakan yang sesungguhnya terjadi. Mereka terlihat tak menyukai Kakek itu, jadi seharusnya tak masalah jika Aku berbicara jujur, kan?

Sama seperti sebelumnya. Mereka tak memberikan ekspresi tertarik sama sekali, padahal Aku baru saja menceritakan sesuatu yang sangat luar biasa bagiku. Sejujurnya Aku tak ingin menceritakan hal ini, karena kupikir Aku akan membuat mereka memandangku dengan pandangan aneh atau lebih tepatnya ketakutan.

“Hmm... jadi dia bisa dibunuh dengan cara itu, ya... kenapa Aku tak pernah memikirkan hal tersebut sebelumnya.”

Kata seorang pria yang mengenakan setelan jas dengan nada yang terdengar acuh tak acuh. Tatapan matanya terlihat bosan.

“Mungkin karena itu tak berguna.”

“Mungkin itu memang alasannya...”

Sejujurnya perkataan mereka yang acuh tak acuh itu mulai membuatku kesal. Apa mereka tak bisa sedikit saja peduli pada ceritaku!? Padahal Aku memiliki perasaan yang sangat kompleks mengenai apa yang baru saja kulakukan pada si Kakek itu.

“Jadi apa yang ingin kau lakukan setelah ini? Kau sampai membunuh Kakek tua itu, jadi kau pasti memiliki semacam rencana?”

Tanya seorang pria lainnya. Kali ini Aku merasa nada sedikit tertarik dari suaranya.

“Hmm... untuk saat ini Aku ingin fokus untuk membuat tempat yang nyaman untuk teman-temanku!”

Aku merasakan keterkejutan dari ekspresi mereka semua saat mendengar ucapanku.

“Ehhh.... jadi kau masih memiliki teman, ya.”

Balasan dari seorang pria berbadan kecil membuat diriku terkejut menggantikan mereka.

“A-apa maksud ucapanmu itu?”

Tanyaku dengan nada sedikit takut. Aku memiliki firasat yang buruk dari ucapannya tersebut.

“Jika kau masih memiliki teman, itu tak masalah sama sekali... kau tak perlu terlalu memikirkan apa yang kukatakan barusan.”

“Be-begitukah...”

Entah kenapa Aku merasa lega saat pria itu menolak untuk menjelaskan ucapannya barusan. Sepertinya memang ada hal yang sebaiknya tak kau ketahui, setidaknya untuk saat ini.

“Lalu apa ada urusan lain kau ke sini?”

Seorang pria yang acuh tak acuh kembali bertanya. Meskipun dia tak mengatakannya secara langsung, tapi Aku tahu bahwa dia ingin Aku segera meninggalkan tempat ini. Sepertinya tak ada hal lainnya yang perlu kudiskusikan dengan mereka untuk saat ini. Aku lebih baik mundur dari sini secepatnya.

 “Ti-tidak ada... jadi apakah Aku bisa pergi dari sini?”

“Ya, tentu saja... kau bisa pergi dan datang sesukamu... tentu saja, itu jika kau memanglah seorang Dewan.”

Aku segera meninggalkan ruangan tak menyenangkan itu, begitu mendapatkan balasan tak menyenangkan dari pria sebelumnya.

Begitu Aku keluar dari ruangan itu, Aku langsung bertemu dengan Chris yang sepertinya sudah berjaga di depan pintu sedari Aku masuk ke ruangan itu.

“Kerja bagus, Tuan Asraf.”

Katanya sambil membungkuk dengan sopan.

“Tidak... itu... sepertinya Aku tak melakukan perkerjaan yang begitu bagus.”

“Begitukah?”

“Ya, begitulah... hahaha...”

Aku sedikit tertawa canggung untuk mencairkan suasana, tapi sepertinya hal tersebut tak membantu sedikitpun. Chris masih terlihat kaku seperti biasanya.

“Apakah kita akan berkumpul dengan yang lain?”

“Ya... itu adalah rencananya.”

“Kalau begitu, silahkan ikuti Aku.”

Setelah itu Chris kembali memimpin jalan. Aku segera mengikutinya, setelah menghela napas lelah. Meskipun singkat, tapi memang begitulah pertemuanku dengan para Dewan untuk pertama kalinya.

Tentu saja itu bukanlah terakhir kalinya Aku bertemu dengan mereka, tapi Aku akan meninggakan cerita itu untuk lain kali.

Contact Form

Name

Email *

Message *