ABU-ABU YANG BERWARNA.


Entah sejak kapan, semua warna di sekelilingku nampak berwarna abu-abu. Saat Aku menyadarinya sudah seperti itu dan terus bertahan hingga saat ini. Aku sendiri tak tahu apa penyebabnya, tidak lebih tepatnya mungkin aku yang tak ingin memikirkan apa penyebabnya.

Berbeda dengan orang lain, Aku tak menganggap bahwa diriku yang hanya bisa melihat warna abu-abu di sekelilingku adalah sesuatu yang benar-benar buruk. Orang-orang mungkin akan mencoba mencari tahu apa penyebab dari penyakit ini dan mencari obatnya, tapi aku sama sekali tak berniat untuk melakukan hal tersebut, karena hal ini sama sekali tak mempengaruhi bagaimana aku hidup hingga saat ini.

Meski begitu, itu bukan berarti akan mencegah orang tuaku untuk memeriksakan kondisiku ke Dokter, begitu mereka mengetahui bahwa diriku hanya bisa melihat warna abu-abu. Aku menjalani berbagai pemeriksaan di rumah sakit, tapi pada akhirnya Dokter yang memeriksaku tak dapat menemukan apa penyebabnya dan bagaimana cara menyembuhkannya. Sedari awal Aku memang tak berharap banyak, jadi tak merasa kecewa atau apapun itu namanya.

Meski hal yang sama tak dapat dikatakan untuk orang tuaku. Reaksi mereka seperti mereka sedang berhadapan dengan akhir dunia. Mereka sungguh berlebihan. Meskipun Aku tak bisa melihat warna apapun, selain abu-abu, tapi Aku masih tetap hidup, jadi tak ada masalah yang harus diributkan sama sekali.

Pada akhirnya kami pulang dari rumah sakit tanpa membawa hasil apapun.

Dan waktu pun berlalu.

Sekarang aku sudah menginjak bangku SMA. Tak ada banyak hal yang berubah dari hidupku, selain pertumbuhan-ku. Aku sekarang telah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dengan rambut hitam panjang yang lurus dan kulit putih yang mulus. Aku juga memiliki tinggi badan yang berada di atas rata-rata yang membuatku lebih mencolok dari teman sekelas wanitaku yang lain. Tentu saja itu semua artinya aku menjadi orang yang sangat populer, terutama di kalangan laki-laki.

Aku sebetulnya tak begitu suka menarik perhatian orang-orang dan lebih ingin ditinggal sendirian, jadi kepopuleran-ku sama sekali tak membuatku bahagia, malahan mereka hanya menjadi gangguan bagiku. Jadi biasanya aku hanya mengabaikan mereka dan melakukan kegiatan-ku sendirian.

Tentu saja aku merahasiakan bahwa aku tak bisa melihat warna pada semua orang di sekolah ini, selain beberapa guru yang terlibat langsung denganku. Untung saja sekolah ini sangat menghargai privasi-ku, jadi mereka tak pernah mengatakan hal yang tak perlu tentangku pada orang yang tak penting.

Dengan begitu, Aku bisa menjalani kehidupan sekolahku dengan damai. Setidaknya sampai hari ini tiba.

“Siapa kau?” Tanyaku dengan nada ketus pada seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di depanku.

Dia tiba-tiba saja datang di saat aku sedang menikmati makan siangku sendirian di kantin. Jujur saja, keberadaannya sangat menganggu-ku.

‘Apakah dia tak tahu peraturan tak tertulis untuk tak mendekatiku saat aku sedang sendirian?’ pikirku saat memeriksa wajahnya yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Aku selalu mengusir siapapun yang mencoba mendekatiku dengan tatapan tajam dan aura yang tak menyenangkan. Jika ada orang yang tetap mencoba mendekatiku, maka aku akan bersikap dingin padanya dan menyuruhnya untuk pergi. Tentu saja aku berencana melakukan hal yang sama pada lelaki yang duduk di depanku ini.

“Aku hanya ingin sedikit mengobrol denganmu... apakah bisa?” dia berkata dengan nada yang sopan, tapi sayangnya aku sama sekalitak berniat mengabulkan keinginannya tersebut.

“Tidak! Bisakah kau pergi dari sini! Kau menghancurkan waktu makan siangku!” kataku sambil menatapnya tajam.

“Bisakah kau memikirkannya dulu? Hanya sebentar saja?” dia mulai memohon dengan menempelkan kedua telapak tangannya di depanku.

“Tidak ya tidak! Bisakah kau sekarang pergi!”

Aku memberikan nada yang tak menyenangkan padanya, tapi untuk suatu alasan dia tetap saja tersenyum.

“Ayolah! Aku tak berniat melakukan sesuatu yang mencurigakan kok!”

Jika kau mengatakannya seperti itu, kau malah terdengar lebih mencurigakan dari pada sebelumnya. Sepertinya apapun yang kukatakan tak akan membuatnya pergi meninggalkanku sendirian.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk mempercepat makan siangku dan meninggalkannya sendirian. Pada akhirnya lelaki itu tak mengatakan apapun saat Aku meninggalkannya.

Aku berpikir bahwa dia akan menyerah begitu saja, tapi keesokan harinya saat aku sendirian di perpustakaan sambil membaca buku, dia tiba-tiba datang menghampiriku. Aku ingin segera meninggalkan tempat ini begitu melihatnya, tapi aku merasa bahwa dia hanya akan mengikutiku, jika aku melakukannya. Pada akhirnya aku hanya diam di tempat dudukku sambil berpura-pura tak menyadari keberadaannya.

“Maaf, jika aku mengganggumu... tapi bolehkah aku mengganggumu sebentar?” tanya lelaki itu sambil duduk di depanku.

“...” Aku hanya mengabaikannya. Aku menutup wajahku dengan buku yang ada di tanganku agar dia tak bisa melihat ekspresiku saat ini.

“Sebelumnya aku ingin meminta maaf terlebih dahulu, karena aku akan mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuatmu marah.”

‘Kau sudah membuatku marah dengan kedatanganku, jadi sudah terlambat untuk meminta maaf sekarang.’ pikirku sambil sedikit melirik dirinya dari atas buku yang kubaca.

“Aku sebetulnya mengetahui rahasiamu.”

Suasana hatiku berubah dari buruk jadi yang terburuk, begitu dia mengatakan hal tersebut. Aku memukul meja di hadapanku dengan keras dengan kedua tanganku yang melepaskan buku yang tengah kubaca. Lalu aku menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.

Lelaki itu terlihat bersalah, begitu menerima tatapan kebencianku.

‘Jika kau menyesal mengatakan hal tersebut, kau seharusnya tak mengatakan hal itu sejak awal’ pikirku sambil terus mengarahkan kebencianku padanya.

“Aku benar-benar meminta maaf... tapi begitu aku mendengar kondisimu dari guru wali kelasmu, aku merasa aku perlu membantumu.”

Aku menarik lagi perkataanku tentang para guru yang menghargai privasiku. Guru itu sudah mengatakan hal yang tak perlu pada orang yang tak penting.

“Aku tak tahu alasan kenapa guru wali kelasku mengatakan hal itu padamu, tapi aku sama sekali tak membutuhkan bantuanmu! Sekarang bisa kau pergi dari sini!”

Aku sudah sangat jelas mengirimkan pesan padanya untuk segera meninggalkanku dari nada bicaraku yang penuh kebencian ini. Meski begitu lelaki itu sama sekali tak beranjak dari posisi duduknya.

Pada akhirnya aku harus kembali yang harus pergi dari sini. Aku meninggalkan perpustakaan tanpa mengatakan apapun padanya.

Aku sedikit melirik ke arahnya, sebelum aku benar-benar meninggalkan perpustakaan. Dia nampak menundukkan kepalanya dengan aura sedih yang menyelimutinya. Dia seharusnya tak pernah menggangguku sejak awal, jika pada akhirnya dia hanya bisa menunduk lesu begitu.

Aku berpikir itu adalah hari terakhir aku harus berurusan dengannya, tapi keesokkan harinya, dia kembali datang menemuiku saat diriku sedang sendirian.

“Sebetulnya apa yang kau inginkan dariku? Kau seharusnya sudah sadar bahwa aku membencimu!”

“Setidaknya kau baru membenciku, belum sangat membenciku...”

“Apa kau ingin aku menambahkan kata sangat di kalimatku!?”

“Tidak! Maaf...”

Aku bisa merasakan aura canggung menyelimuti dirinya. Aku menghela napasku. Sepertinya aku harus mengalah di sini.

 “Apa yang kau inginkan dariku?”

“Aku ingin berbicara denganmu!”

Dia terus mengatakan itu dari kemarin. Jujur saja, itu sudah membuatku bosan.

“Aku merasa bahwa tak ada hal yang perlu kita bicarakan di sini!” kataku sambil memberikan tatapan menusuk padanya, tapi lelaki itu seakan tak terpengaruh sedikitpun dengan tatapan tersebut.

“Aku tak akan mengatakan bahwa aku mengerti perasaanmu... tapi kurasa aku bisa sedikit menghiburmu... setidaknya, aku akan mencobanya...” katanya dengan nada ragu-ragu. Matanya nampak tak bisa fokus melihat ke arahku yang menandakan bahwa dia sedang gugup saat ini.

‘Jika kau tak memiliki kepercayaan diri saat berbicara padaku, lebih baik kau menyerah saja sejak awal.’ Pikirku sambil membuang muka darinya.

“Aku tak membutuhkan hiburan apapun darimu! Cepat pergi sana!” kataku dengan nada ketus.

“Meski kau tak membutuhkan hiburan apapun dariku, tapi aku membutuhkannya!”

“Huh!”

Aku kembali menatap ke arah lelaki tersebut dengan ekspresi terkejut. Sebetulnya apa yang dibicarakan oleh lelaki tersebut.

“Akhirnya kau terlihat tertarik padaku!” kata lelaki tersebut dengan senyum yang sangat lebar.

“Aku pergi!”

“Tunggu dulu! Maafkan Aku! Tolong dengarkan Aku sebentar!”

Lelaki tersebut menahanku dengan memegang tanganku, jadi aku memberikan tatapan membunuh ke arah tangannya yang memegang tanganku, lalu ke arah wajah lelaki tersebut. Menyadari tatapan membunuhku, lelaki tersebut segera melepaskan tanganku.

“Maaf, Aku tak sengaja... tapi tolong dengarkan diriku... hanya sebentar saja...”

Aku merasa bahwa tak ada yang perlu kubicarakan dengannya, tapi aku memutuskan untuk kembali duduk. Aku merasa dia akan mencoba menggangguku lagi, jika aku tak menanggapinya.

“Jadi apa yang ingin kau bicarakan?”

“Apa kau pernah membayangkan warna pelangi yang berbeda?”

“Huh?! Apa kau sedang meremehkanku?!”

Lelaki itu segera menggelengkan kepalanya beberapa kali, begitu aku kembali menatapnya dengan tatapan membunuh.

“Bukan begitu maksudku... tapi apakah kau pernah membayangkan bagaimana jika warna pelangi yang sebenarnya berbeda dengan yang dilihat oleh semua orang... bagaimana jika warna hijau ternyata berbeda bagi setiap orang?”

“Aku sama sekali tak mengerti apa yang sebetulnya kau bicarakan.”

Aku tak berpura-pura tak mengerti, aku benar-benar tak paham dengan isi pembicaraannya.

“Bukankah menarik jika ternyata warna yang kita lihat selama ini berbeda dengan apa yang dilihat oleh orang-orang.”

“Kau benar-benar sedang meremehkanku, ya.”

“Tidak! Aku tak bermaksud begitu!”

Melihat bagaimana dia bersusah payah meyakinkanku, aku merasa bahwa dia memang tak sedang meremehkanku. Meski begitu, aku tetap merasa kesal dengan apa yang dia katakan padaku.

“Apa gunanya aku memikirkan hal seperti itu?” tanyaku dengan acuh tak acuh.

Lelaki itu terlihat berpikir untuk beberapa saat, sebelum akhirnya memberikan jawabannya. “Kurasa memang tak ada gunanya memikirkan hal seperti itu... selain mungkin itu adalah hal yang menyenangkan.”

Aku tak bisa menemukan satupun hal yang menyenangkan dari apa yang dia bicarakan, jadi aku tak mengerti sedikitpun kenapa lelaki tersebut bisa tersenyum dengan lebar.

“Jadi apa kau pernah membayangkan hal seperti itu?” tanyaku tanpa terlihat tertarik sedikitpun.

“Hmm... bagaimana jika aku menjawab sering?” katanya sambil menunjukkan senyum percaya diri.

“Kau sungguh orang yang tak punya kerjaan, ya.” kataku dengan sarkas.

“Aku pergi!”

Karena merasa sudah cukup lama aku menemaninya, akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari sana tanpa menunggu jawabannya.

“Ya, sampai jumpa lagi.”

Meski begitu aku tetap bisa mendengar suaranya yang bersemangat dari kejauhan.

Keesokkan harinya.

“Nah, apa kau pernah membayangkan bahwa sebenarnya warna pelangi itu adalah warna biru, tapi warna biru yang berbeda.”

Seperti biasa, lelaki itu terus mengatakan hal-hal yang sulit dimengerti.

“Seperti biru cerah, biru langit, biru navy, biru cyan atau mungkin magenta.”

“Magenta bukanlah warna biru!”

“Akhirnya kau mau merespon ucapanku!”

‘Sial, dia benar-benar menjebakku!’ pikirku sambil memberikan tatapan tajam pada lelaki itu. Karena ucapannya sangat bodoh, jadi aku tanpa sadar langsung membalasnya begitu saja.

“Bagaimana menurutmu? Bukankah itu adalah hal yang menarik?” tanya lelaki itu sambil menunjukkan senyuman lebarnya.

“Kau seharusnya tahu bahwa apa yang kau ucapkan itu tak masuk akal, kan?”

Seharusnya dia tak lupa bahwa aku hanya bisa melihat warna abu-abu di sekelilingku, tapi kenapa dia malah mengatakan hal seperti itu padaku? Bagaimanapun aku memikirkannya, aku tetap tak bisa menebak apa isi pikirannya.

“Ya, mungkin saja... tapi bukankah itu menakjubkan, jika kita bisa membayangkannya seperti itu.”

“Sama sekali tidak!” kataku sambil mengalihkan pandanganku darinya dengan suara kesal. “Itu hanya terdengar bodoh!”

“Hahaha.... mungkin itu juga benar...”

Meskipun aku menghina dirinya, tapi dia tetap bisa tertawa dengan santai. Dia sungguh lelaki yang aneh.

“Mungkin ini akan membuatmu kesal... tapi bukankah itu indah jika kita bisa membayangkan bahwa di sekeliling kita dipenuhi dengan warna-warna yang kita sukai... bahkan jika sebenarnya yang kita lihat hanya warna hitam putih, tapi jika kita merubahnya di kepala kita, maka kita bisa merubahnya menjadi warna yang sangat cantik.”

Lelaki itu nampak melihat ke kejauhan saat mengatakan hal tersebut.

“Jika kau mengetahui bahwa hal tersebut hanya akan membuatku kesal, seharusnya kau tak perlu mengatakan hal tersebut.” kataku dengan sarkas.

“Hahaha... kau benar... maaf.” kata lelaki itu dengan suara yang tak terdengar menyesal sama sekali.

“Kau tak perlu mengkhawatirkanku... Aku tak memiliki masalah apapun pada diriku.” kataku sambil beranjak dari tempat dudukku.

Aku  mengatakan hal yang sebenarnya. Aku benar-benar tak memiliki masalah sama sekali dengan tubuhku. Aku sebetulnya menyimpan sebuah rahasia mengenai penglihatanku.

Aku sempat melirik ke arah lelaki itu saat aku meninggalkannya. Dia terlihat melihat ke arahku dengan pandangan yang sulit diartikan.

Saat melihat pandangannya itu, aku merasa bahwa dia sebetulnya menyimpan sesuatu dariku. Meski menyadari hal tersebut, tapi aku tak mengatakan apapun tentangnya, karena aku sama sekali tak peduli dengannya.

Hari kembali berganti.

Saat pulang sekolah, untuk suatu alasan lelaki itu nampak mengikutiku.

“Sebetulnya ada urusan apa kau denganku?” tanyaku dengan nada kesal. ‘Apakah jangan-jangan dia sudah menjadi penguntit?’ tambahku dalam pikiranku sambil memberinya tatapan curiga.

“Apakah aku bisa menemanimu selama perjalanan pulang?” tanya lelaki itu sambil tersenyum.

“Tak usah khawatir... aku dijemput oleh sopirku.” jawabku tanpa banyak berpikir.

“Begitukah... kalau begitu, bisakah aku menemanimu sampai sopirmu tiba?” tanya lelaki itu saat dia menyadari bahwa sopirku belum sampai di sekolah. Tanpa menunggu jawabanku, lelaki itu langsung berdiri di sampingku.

Keheningan mengisi ruang di antara kami. Tak ada yang berbicara lagi di antara kami sampai pada akhirnya aku menghela napasku.

“Aku sebetulnya tak ingin mengatakan ini... kenapa kau begitu ingin terlibat dengan diriku? Aku mengetahui bahwa kau menyimpan suatu rahasia dariku!” kataku tanpa melihat ke arahnya.

“Hmmm... kurasa yak ada alasan khusus... aku hanya merasa bahwa diri kita akan cocok.”

“Huh!? Apa yang kau bicarakan?” kataku dengan ekspresi terkejut dicampur jijik. Karena dia mengatakan sesuatu benar-benar tak terduga, aku tanpa sadar melihat ke arahnya. Dia terlihat sangat senang saat melihat reaksiku.

“Kau tak perlu terlihat begitu jijik denganku.” katanya dengan santai.

“Bagaimana bisa aku tak merasa jijik, jika ada lelaki aneh yang mengatakan bahwa diriku ini cocok dengannya.”

“Mungkin itu memang benar... hahaha.”

Aku seriusan merasa jijik, tapi dia malah bisa tertawa lepas begitu. Dia sungguh lelaki aneh yang menjijikan.

“Kenapa kau bisa berkata seperti itu?” tanyaku yang masih memasang ekspresi jijik.

“Itu karena nama kita.” katanya sambil melihat ke arahku.

“Nama kita?” tanyaku kembali dengan bingung.

“Kau mungkin tak mengetahui ini, karena kau sama sekali tak tertarik denganku, tapi namaku adalah Rian, Dian.”

Jadi begitu. Dia benar-benar berpikiran sederhana. Dia berpikir bahwa kita akan serasi hanya karena nama kita terdengar mirip. Aku merasa bodoh, karena telah bertanya padanya.

Aku memeriksa wajah lelaki itu sekali lagi. Dia memang nampak tersenyum, tapi aku masih merasa bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Sepertinya lelaki itu tak berniat untuk mengungkapkan rahasianya.

Aku benci jika harus terus-terusan mengalah, tapi aku lebih benci jika aku harus terus memikirkannya, karena aku penasaran dengan apa yang dia sembunyikan.

“Karena sepertinya kau tak ingin menceritakan rahasiamu, maka biarkan aku menceritakan rahasiaku.” kataku sambil menguatkan tekad di dalam diriku.

“Rahasia?” balas lelaki itu dengan nada penasaran.

“Iya... ini mengenai rahasia yang selalu kusembunyikan... mengenai masalah mataku.”

Aku bisa merasakan tubuh lelaki itu yang mulai menegang. Dia tak mengatakan apapun saat dia memperhatikanku dengan saksama.

“Mengenai diriku yang hanya bisa melihat warna abu-abu... itu sebenarnya bohong... tidak, itu tak sepenuhnya bohong... hanya saja aku merasa bahwa warna di sekelilingku berubah menjadi abu-abu, padahal aku bisa melihat warna mereka... jadi itu semua hanyalah ungkapan.”

Aku menundukkan kepalaku sambil mengingat kembali penyebab semua hal tersebut. Aku sebetulnya tak ingin mengingat alasannya, tapi entah kenapa aku kembali mengingat hal tersebut, begitu lelaki yang ada di sampingku ini menggangguku setiap hari.

“Aku tak ingin terdengar menyombongkan dirinya, tapi aku selalu bisa melakukan banyak hal sedari kecil.... aku selalu bisa menjadi juara kelas dan bahkan kemampuan atletik milikku sangat bagus, jika dibandingkan dengan gadis yang lain... tapi meski begitu, aku tak bisa merasa senang sama sekali.”

Perasaan tak menyenangkan kembali mendatangiku setelah bertahun-tahun menghilang. ‘Kenapa aku harus menceritakan hal ini dan mengingat kembali masa lalu itu.’ pikirku sambil menggertakkan sedikit gigiku.

Meski perasaan tak menyenangkan terus menyerangku, tapi entah kenapa aku tak bisa berhenti bercerita.

“Orang tuaku memang memujiku atas pencapaianku, tapi pada akhirnya mereka melakukan hal itu demi kepuasan mereka... mereka menyombongkan prestasi yang kumiliki pada para tetangga dan teman mereka yang lain, seolah-olah karena merekalah aku bisa mendapatkan pencapaianku... padahal yang mereka lakukan hanya terus menyuruhku belajar dan mengekangku... mungkin mereka benar-benar menyayangiku, tapi aku tetap saja merasa kesal dengan tindakan mereka.”

Entah sejak kapan aku sudah mengepalkan kedua tanganku dengan sangat kencang. Menahan amarah yang sudah berkumpul di dalam diriku.

“Aku juga merasakan hal yang sama dari teman-teman sekelasku... mereka semua memang memujiku karena bisa mendapatkan hasil yang tak bisa mereka raih, tapi pujian mereka hanyalah pujian kosong... tak ada satupun dari mereka yang benar-benar merasa senang dengan pencapaianku... yah, aku juga tak pernah merasa senang dengan pencapaian orang lain, jadi aku tak layak untuk mengeluh.... tapi tetap tak bisa menyingkirkan perasaan hampa yang ada di dalam diriku.”

Setelah begitu lama mengubur ingatan tersebut, kenapa aku harus mengingatnya hari ini. Aku mulai merasa menyesal karena telah menceritakan masa lalu ini pada lelaki itu, tapi meski begitu mulutku tetap tak berhenti berbicara.

“Lalu tanpa sepengetahuan diriku sendiri, semua hal yang ada di sekelilingku telah berubah menjadi abu-abu... warna-warna yang ada di sekelilingku mulai memudar, padahal seharusnya tak ada yang berubah dari sekelilingku... tidak, mungkin karena tak ada perubahan itulah kenapa aku merasa bahwa warna-warna tersebut memudar.”

Setelah menyelesaikan cerita panjangku, aku mengangkat kepalaku, lalu dengan perlahan melihat wajah lelaki itu.

Dia saat ini nampak tersenyum dengan tenang. Dia menatap ke arah diriku dengan tatapan lembut yang belum pernah kulihat selama ini.

“Begitu, ya... syukurlah kalau begitu...” kata lelaki tersebut yang nampak lega untuk suatu alasan.

Aku tak tahu apa yang ada di kepala lelaki tersebut, tapi dia saat ini sangat senang. Aku sama sekali tak mengerti bagian mana dari ceritaku yang membuatnya senang. Aku tak merasa menceritakan sesuatu yang membahagiakan.

“Kenapa...”

“Ah... sepertinya jemputanmu sudah tiba!”

Saat aku ingin menanyakan alasan kenapa dia terlihat bahagian, tiba-tiba saja sebuah mobil yang sudah familiar bagiku dapat terlihat memasuki wilayah sekolahku.

“Sepertinya pembicaraan kita hanya bisa sampai sini saja... maaf telah menganggumu!”

Setelah mengatakan itu, dia langsung pergi meninggalkanku tanpa membiarkanku mengatakan apapun.

Aku seharusnya merasa senang, karena dia sudah pergi dari sini, tapi entah mengapa aku hanya merasakan perasaan kesal saat melihat punggung lelaki itu menjauh.

Pada akhirnya aku masuk ke dalam mobil jemputanku tanpa mengatakan apapun.

Lelaki itu pada akhirnya pasti akan datang dan menggangguku besok, jadi aku bisa menginterogasinya sampai aku puas saat waktu itu tiba.

Akan tetapi waktu itu tak pernah tiba.

Selama beberapa hari terakhir, aku tak pernah lagi melihat batang hidung lelaki tersebut. Dia seolah-olah menghilang dari dunia ini.

Aku seharusnya senang, karena dia tak lagi menggangguku, tapi entah kenapa aku malah merasa kesal saat ini. Apa itu karena ada hal yang ingin kutanyakan padanya, tapi dia malah menghilang? Atau apakah ada alasan lain?

Aku menggelengkan kepalaku untuk melupakan semua pertanyaan itu. Sudah bagus aku tak perlu berurusan lagi dengannya, jadi aku tak perlu memikirkannya.... atau begitulah yang kupikirkan waktu itu, tapi pada akhirnya kepalaku terus dipenuhi oleh dirinya.

‘Ada apa dengan diriku?! Kenapa wajahnya terus muncul di kepalaku!?’ pikirku sambil mengacak-acak rambutku. Untungnya aku sedang sendirian, jadi tak ada seorang pun yang melihatku bertingkah aneh.

‘Alasan lelaki itu mendekatiku, karena dia mengira bahwa aku tak bisa melihat warna selain abu-abu.’ pikirku sambil mengingat kembali pertemuan pertama kami.

Jika itu memang benar, maka wajar jika dia menjauh dariku. Sudah tak ada alasan baginya untuk mendekatiku. Lebih baik aku segera melupakannya.

Aku pun kemudian memutuskan untuk kembali ke kelas agar aku tak sendirian lagi. Aku merasa bahwa jika aku terus sendirian, wajah lelaki itu akan terus muncul di benakku.

Begitu aku duduk di bangku milikku, aku tanpa sengaja mendengar percakapan dua orang siswi yang berada tak jauh dariku.

“Nah... apa kau tahu kabar Rian dari kelas sebelah?” tanya seorang siswi yang wajahnya belum pernah kulihat sebelumnya.

“Rian? Memangnya ada urusan apa kau dengannya?” balas teman sekelasku yang malah balik bertanya.

“Aku... hanya... tidak... itu tak penting... apakah kau tahu dimana dia?” balas siswi lainnya yang terlihat malu-malu. Ada apa dengannya? Kenapa dia bersikap seperti itu? Entah kenapa aku merasa kesal melihat tingkah gadis itu.

“Anu... apa kau tak pernah mendengar kabar tentangnya?” tanya teman sekelasku dengan memelankan suaranya, meski begitu aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.

“Kabar? Memangnya ada kabar apa tentangnya?” tanya balik siswi itu yang nampak kebingungan.

“Itu.... dia... dulu pernah mengalami kecelakaan!”

Baik aku dan gadis itu nampak terkejut saat mendengar tentang hal tersebut, terutama diriku yang merasakan firasat yang sangat buruk.

“Kecelakaan?! Kecelakaan macam apa?!” tanya siswi itu yang nampak tak percaya dengan berita yang baru dia dengar tersebut.

“Aku tak tahu detailnya... tapi saat ini dia masih menjalani pemeriksaan, karena luka yang dia alami.” jawab teman sekelasku yang nampak ragu untuk menceritakan kelanjutannya.

“Jangan buat aku penasaran! Pemeriksaan macam apa yang dijalaninya!?” siswi itu nampak mendesak teman sekelasku. Bukan hanya dia, aku juga penasaran dengan kelanjutannya dan ingin ikut mendesaknya, tapi aku menahan diriku.

“Anu... nampaknya... akibat kecelakaan itu... dia mengalami gangguan penglihatan.... dia memang tak sampai kehilangan penglihataannya... tapi sepertinya dia tak bisa lagi membedakan warna.”

Jantungku seakan berhenti saat mendengar hal tersebut, tapi di saat bersamaan, aku mulai mengerti segalanya.

Jadi itu alasan kenapa guru wali kelasku menceritakan tentang kondisiku padanya. Itu karena dia mengira bahwa kami mengalami kondisi medis yang sama, padahal kenyataannya tak begitu. Dia pasti mengira bahwa kami berdua hanya bisa melihat warna abu-abu.

Tanpa sadar air mata menetes dari kedua mataku, lalu mengali ke pipiku, sebelum akhirnya jatuh ke tanah.

Pada saat itu aku teringat kembali dengan kata-kata yang pernah diucapkan lelaki itu. Kata-kata yang pernah terlontar darinya di saat-saat dia menggangguku dengan segala ucapan menyebalkannya.

“Meskipun warna yang kita lihat hanyalah abu-abu, tapi abu-abu tetaplah sebuah warna sama seperti warna lain pada umumnya... jadi abu-abu bukanlah sesuatu yang buruk sama sekali.”


<<= Go Back to Index

Contact Form

Name

Email *

Message *